Nostalgia (part 4)

15 2 5
                                    

Aku menuruni tangga dengan tergesa. Tadi pagi aku mengabaikan alarm ponselku yang berbunyi, akibatnya sekarang aku hampir terlambat. Aku menyapa Ayah dan keempat saudaraku yang sedang melahap sarapan mereka. Aku tentu saja mencium pipi Ayah lagi pagi ini. Sepertinya aku harus selalu melakukannya tiap pagi.

"Rin berangkat ya, Yah," ucapku setelah mencium pipi Ayah.

"Kamu nggak sarapan lagi?" tanya Ayah.

"Rin udah hampir telat, Yah," jawabku.

"Rin, abang gk dicium juga?" tanya abang Sekai.

Aku berdecak pelan lalu menghampiri abang Sekai dan mencium pipinya. Setelahnya, tentu saja saudaraku yang lain ikut protes. Terutama si bungsu. Mau tak mau aku pun mencium pipi mereka juga.

Sepertinya aku memang harus menuliskan daftar baru untuk rutinitas pagiku; mencium pipi Ayah dan keempat saudara laki-lakiku.

"Udah ah, Rin udah telat," protesku setelah mencium pipi si bungsu.

"Hati-hati ya Kakak," ucap Keito.

Aku hendak meninggalkan ruang makan, namun tiba-tiba Ibu memanggilku.

"Rin," panggil Ibu.

Aku pun menoleh ke arah dapur. Ibu menatapku sebentar, lalu meletakkan kotak beka di atas meja kounter dapur. Aku sedikit bingung dengan maksud Ibu. Apa itu maksudnya bekal untukku. Aku mengalihkan pandanganku ke arah Ayah dan keempat saudaraku, namun mereka malah mengalihkan pandangan ke arah lain.

Menyebalkan.

"Bekal buat kamu, biar kamu nggak perlu beli makan di luar," ucap Ibu sambil menaruh panci kotor ke bak cuci piring.

Aku dengan ragu mengambil kotak bekal itu. kotak persegi itu terasa hangat. Kapan ya terakhir kali Ibu membuatkan bekal untukku?

Aku hendak pergi tanpa berkata apapun lagi, namun entah mengapa tubuhku bergerak tak sesuai dengan perintah otakku. Aku menghampiri Ibu dan mencium pipinya sambil mengucapkan terimakasih.

"Makasih, Bu," ucapku cepat lalu berlari menuju pintu depan.

Aku bahkan tak memakai sepatuku dengan benar dan langsung berlari menuju jalanan komplek. Aku bahkan lupa menutup pagar rumah.

Duh, kenapa aku jadi salah tingkah seperti ini sih?

Ketika sampai di kedai, seperti biasa aku menyapu lantai kedai terlebih dahulu lalu merapikan meja dan kursi. Setelah itu aku membantu Kanta dan Hayato menyiapkan peralatan untuk menyeduh kopi beserta gelas dan paper cup. Ketika waktu menunjukkan pukul 8 lewat 15 menit, Kanta membalik tanda tutup di depan pintu kedai menjadi buka. Tepat saat itu pula pelanggan pertama datang. Aku menyambut pelanggan pertama kami dengan senyum paling cerah yang aku punya.

Melihat siapa pelanggan itu membuat senyumku hilang sepersekian detik. Namun aku tersadar dan kembali tersenyum lagi.

"Mau pesan apa Dev?" tanyaku.

"Caffe Latte ya," jawabnya.

Dia adalah Adeeva. Pacar kakak keduaku yang kemungkinan akan menjadi kakak iparku di masa depan. Aku tak pernah mengharapkan ia menjadi pelanggan pertamaku hari ini.

"Kamu udah balik ke rumah?" tanyanya ketika ia sedang menunggu pesanannya selesai dibuat.

"Iya," jawabku singkat.

Aku tak tahu harus mengatakan apa lagi. Kemampuan berbasa-basiku sangat minus. Lebih tepatnya aku tak pandai berbasa-basi. Aku terbiasa mengungkapkan apa yang aku mau tanpa banyak pembukaan tidak penting.

Cerita AbsurdTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang