Sakit

66 1 6
                                    

Aku terbangun karena suara alarm dari handphoneku. Dengan cepat aku langsung bangkit dari kasurku dan meuju kamar mandi. Hari ini aku harus bekerja, dan aku tidak boleh terlambat. Aku bahkan mengabaikan sakit yang aku rasakan di kaki bagian bawahku. Sebenarnya aku ingin izin untuk tidak pergi kerja, namun karena hari ini hari gajian jadi aku harus terlihat rajin. Siapa tahu saja Om Tetsuya berbaik hati memberikanku bonus.

Setengah jam kemudian aku sudah siap untuk pergi. Aku turun ke lantai bawah menuju dapur. Aku mendapati seluruh keluargaku sudah duduk mengelilingi meja makan. Aku seperti biasa duduk di samping Abang Sekai.

"Nanti malem mau bantuin Abang nggak Rin?" tanya Abang Sekai ketika aku meraih piring yang diberikan Ibu.

"Abang tuh harusnya cari asisten beneran dong. Kan aku sekarang udah kerja, bang," jawabku sambil menyendok nasi ke piringku.

"Kan kamu masih bisa bantuin Abang kalo malem." Abang Sekai masih tak mau kalah.

"Nggak mau bang, capek," jawabku juga tak mau kalah.

"Kalo jadi asisten Abang mau nggak?" Kali ini Abang Sawa yang menawariku pekerjaan.

"Nggak dulu bang," jawabku sambil menyuapkan makanan ke mulutku.

"Wa, kamu jangan monopoli Rin ya. Kemaren-kemaren dia udah jadi asistenmu," ucap Abang Sekai kepada Abang Sawa.

"Kerjaanku lagi banyak bang," jawab Abang Sawa santai.

"Kerjaanku juga banyak, bukan Cuma kerjaanmu," jawab anag Sekai tak mau kalah.

"Kalian ini malah rebutan asisten. Udah cepetan sarapannya." Ibu sepertinya kesal mendengar perdebatan mereka di tengah sarapan makanya Ibu mengomeli mereka.

Sebenarnya bukannya aku tidak ingin membantu, tapi kali ini aku ingin banyak istirahat dulu. Apalagi mulai minggu ini aku akan semakin sibuk di kedai karena sedang ada promosi menu baru.

*****

Setelah selesai sarapan, aku pun pergi ke kedai om Tetsuya. Biasanya aku akan menemui Taiki yang akan pergi bekerja. Tapi kali ini ia tidak terlihat. Mungkin saja dia pergi lebih pagi hari ini.

"Mabk e kok mlaku dewe?"

Aku terkaget karena mendengar seseorang yang menegurku dari belakang. Dari suara dan cara bicara aku sangat kenal siapa orang itu. hanya satu orang yang kukenal selalu berbicara menggunakan Bahasa jawa atau dengan aksen jawa yang sangat kental. Aku menoleh dan mendapati Kenta, salah satu teman kuliahku dulu, tersenyum tanpa dosa setelah membuatku kaget. Aku yang kesal karena dibuat kaget pun refleks memukul lengannya kencang hingga ia meringis kesakitan.

"Rin sakit. Jadi cewek mbok yo yang lemah lembut, jangan bar-bar kayak gini," ejeknya sembari mengaduh kesakitan.

"Berisik," jawabku kesal dan berjalan cepat meninggalkan Kanta.

"Eh, Rin, tunggu. Bareng!" teriaknya dengan logat medoknya.

"Ojo nesu toh mbak e," ucap Kenta yang sudah menyamai langkahku. "Bercanda aja Rin, maap, maap," lanjutnya.

"Bercandamu nggak lucu Ken. Kalo aku lemah jantung, aku bisa langsung mati gara-gara kaget tau," jawabku kesal.

"Iya, maap," jawabnya.

Aku melirik kea rah Kenta dan sepertinya ia benar-benar menyesali perbuatannya.

"Kamu kok sendirian? Onta gurun kemana?" tanyaku. Yang aku maksud onta gurun adalah temanku yang lain, Rui. Rui dan Kenta biasanya tidak pernah terpisahkan. Dimana ada Kenta maka sudah pasti juga ada Rui. Bahkan mereka saja bekerja di tempat yang sama.

Cerita AbsurdTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang