Bab 8

1.5K 181 1
                                    

بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

"Manusia yang terlalu berharap selain kepada-Nya maka akan berujung patah hati yang tak terkira."

©©©

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

©©©

Azmiya menyeka keringatnya sebelum membawa nampan berisi secangkir teh hangat untuk atasannya. Dengan langkah pelan, ia berjalan menuju ruangan yang terletak tidak jauh dari dapur kantor.

Di depan ruangan, ia tersenyum saat sekretaris Ibrahim menyapa, kemudian ia mengetuk pintu, dan dengan pelan membuka pintu tersebut.

"Maaf Pak, ini teh hangatnya," ucap Azmiya seraya meletakkan secangkir teh dimeja.

Ibrahim yang sedang fokus pada laptopnya mengangguk seraya mengucapkan terimakasih.

Azmiya pun membalikkan badan ingin pergi dari ruangan. Akan tetapi, ia tiba-tiba terjatuh sehingga membuat Ibrahim menatapnya.

"Maaf Pak---"

"Kamu tidak apa-apa?"

Ibrahim berdiri seraya berjongkok di depan Azmiya yang terpaku menatap garis wajah atasannya. Hidung mancungnya, netra hitam lekatnya, rambutnya yang hitam lebat, serta tatapan lembutnya, seakan menghipnotis Azmiya. Apalagi, aroma parfum kayu manis, cengkih, lavender, dan kapulaga yang memikat dan menyeruak masuk ke hidungnya, membuat jantung Azmiya tiba-tiba berdetak cepat.

"Hei?"

Azmiya terkesiap, membuat Ibrahim terkekeh pelan. "Kamu tidak apa-apa?" tanya Ibrahim sekali lagi.

"Ah iya P-pak Ibrahim saya tidak apa-apa," balasnya mencoba tersenyum, walau kakinya sakit dan mungkin terkilir.

Ibrahim menatap kaki Azmiya, lalu berkata, "Tidak sakit?"

Azmiya menggeleng, ia mencoba berdiri, akan tetapi, ringisannya membuat Ibrahim pun menyuruhnya kembali duduk.

"Eum, maaf bolehkah saya memegang pergelangan kakimu, kelihatannya itu terkilir," ujar Ibrahim merasa tidak enak.

Azmiya tergagap, ia pun menggeleng pelan. "Tidak Pak Ibrahim, kaki saya tidak apa-apa," kata Azmiya seraya mencoba berdiri lagi.

"A-aw," ringis Azmiya saat mencoba untuk kembali berdiri.

Ibrahim tersenyum, perempuan di depannya sangat keras kepala. Dengan gerakan pelan, ia berdiri dan meraih gagang telepon untuk menelpon sekretarisnya.

"Panggil Asih kemari dengan membawa minyak urut, secepatnya," titahnya.

Setelah sambungan telepon tertutup, Ibrahim pun meletakkan gagang teleponnya, pintu kemudian diketuk, membuat atensi Azmiya dan Ibrahim menatap ke arah pintu.

Izinkan Aku Menghalalkanmu [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang