Bab 9

1.4K 174 4
                                    

بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

"Kata siapa lelaki tidak bisa menangis, bahkan lelaki saja bisa terluka, apabila merasa patah hati karena cinta."

©©©

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

©©©

Informasi yang Ibrahim terima dari orang tua Briana bahwa perempuan tersebut akan pulang ke rumah hari ini, membuat senyum diwajahnya tersungging lebar. Bahkan ia tidak segan-segan, membelikan hadiah untuk perempuan tersebut, dimulai dari brownis cokelat kesukaannya, boneka teddy bear, dan juga bunga melati.

Ibrahim masih optimis untuk bisa mengembalikan ingatan Briana tentang dirinya, walau ada secuil rasa tidak yakin dalam benaknya. Sebab ada kehadiran seseorang yang seakan pelan-pelan menggeser posisinya. Mengingat itu menimbulkan rasa sakit hati yang kentara di ulu hatinya.

Langkah kakinya berjalan menuju ke ruangan Briana, jam di pergelangan tangan menunjukkan angka setengah 3 sore. Seharusnya masih ada waktu untuk dirinya menemui Briana.

"Assalamu'alaikum," ucapnya sembari membuka pintu ruangan. Namun, netranya tidak melihat siapapun.

Seorang perawat yang sedang membersihkan brankar menoleh menatap Ibrahim.

"Ada apa Pak?"

"Pasien atas nama Briana di mana sus?" tanya Ibrahim disambut senyuman tipis oleh perawat tersebut.

"Sudah pulang sejak setengah jam yang lalu Pak."

Ibrahim menghela nafas panjang, setelah mendengar jawaban perawat tersebut, ia pun mengangguk dan mengucapkan terimakasih, kemudian berbalik meninggalkan ruangan.

Di dalam mobil, Ibrahim termenung sembari menatap buket bunga yang ia pegang.

"Astaghfirullahal Adzim," lirihnya sembari meraup wajahnya, seharusnya ia tidak berlebihan dalam mencintai Briana. Seharusnya, ia segera menghalalkan perempuan itu saja. Tetapi, nasi sudah menjadi bubur, walaupun Ibrahim menepis semua takdir yang menimpa Briana hingga melupakan dirinya, semua juga tidak bisa kembali seperti semula.

Tangannya mengepal, seiring rasa sakit karena penyesalan. Ia terlalu gila bekerja, sehingga lupa ada perempuan yang menunggu untuk ia halalkan. 

Kepala Ibrahim menunduk, tangannya mengepal kuat di stir kemudi. Mengingat ucapan bundanya bahwa Briana ternyata juga mencintai dirinya diam-diam selama ini, membuat rasa penyesalan semakin terasa di ulu hati.

Pelan-pelan air bening menetes mengalir dari pipi Ibrahim, munafik kalau Ibrahim menyembunyikan kesedihannya, kata siapa lelaki tidak bisa menangis, bahkan lelaki saja bisa terluka, apabila merasa patah hati karena cinta.

Izinkan Aku Menghalalkanmu [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang