10. Kamu punya mimpi?

10 1 0
                                    

Tak terasa senja mulai larut, lembayung melingkari angkasa sebelum perlahan awan tak lagi terlihat. Langit merah seperti menyemburkan tinta hitam yang lama-kelamaan mengubahnya menjadi malam, lalu bintik-bintik kristal pun muncul berkilauan.

Saat aku membantu Ajeng yang terakhir naik ke atas motor Esa dalam sesi mengantar pulang pun, menjadi perpisahanku hari ini. Suara tawa mereka yang begitu renyah bagai keripik singkong sampai cara menangis yang tidak biasa, meninggalkan bekas disudut-sudut ruangan. Rico yang tadinya tidak mau berbicara dengan Esa karena kejadian rusuh tadi, secepat itu luluh saat dijanjikan es-krim di Indomart nanti ketika perjalanan pulang. Esa hanya menggaet tangan mungilnya untuk berbaikan setelah ia kupakaian jaket dan helm yang ia bawa tadi untuk naik ke atas motor matic milik Esa.

Ia berdiri di depan bersama Toto sedangkan Nana diletakan dalam gendongan bayi di depan dada Esa yang pengaitnya aku bantu ceklekkan dipunggung.

Dibelakang ada Ajeng yang menjaga Tato. Mereka berdua duduk manis dengan helm masing-masing sambil menunggu Esa menyalakan motor untuk siap meluncur. Aku sempat bertanya kepada Esa cara mereka datang ke sini tadi pagi, dan ternyata caranya tak berbeda jauh dari ini. Sistemnya antar-jemput.

"Bu guru! besok kita main lagi, ya?!" Satu tangan tiba-tiba terulur mengenai perutku. Saat aku melihat sang pemilik tangan, itu adalah Tato yang memasang senyum lebar kepadaku.

"Siap bos!"

Kugenggam tangannya yang dingin setelah memberikan pose hormat. Tidak tahu kenapa ia jadi tiba-tiba bersemangat. Aneh tapi lucu, karena kurasa sebelumnya ia tidak banyak berbicara. Tetapi, meski tidak banyak bicara, kulihat Tato lebih rajin tersenyum dibandingkan Toto. Memperdalam ingatanku tentang caranya tadi pagi memperkenalkan diri dengan senyum yang lebar.

"Aku kembarannya Toto, tapi tidak identik. Namaku Tato."

Cukup merekatkan dirinya lebih banyak dalam dinding memoriku melebihi yang lain.

Tak berselang lama Esa pun menengok memastikan anak-anak yang berada di belakangnya dalam kondisi aman. Lalu tanpa sengaja ia menemukan mataku saat beralih dari hal tersebut. Kami sama-sama terdiam dengan seribu pilihan kata di dalam kepala, mencoba menimang perasaan lawan. Meski ragu namun nampaknya ia akan mengatakan sesuatu lebih dulu. Aku dengan bersedia menunggu.

"Kamu, nggak capek?"

"Hm...?" Karena ditanya, pundakku jadi terasa berat seketika. Berpikir bahwa itu merupakan pertanyaan terbaik yang tersisa dalam saringannya, jadi aku mencoba mengerti.

"Ah... lumayan. Kenapa?"

"Ada tempat makan lalapan di depan gang sana. Kamu ada waktu?"

Jujur saja ia menawarkan hal yang tepat ketika perutku berbunyi nyaring minta diisi. Namun mengetahui hal menyedihkan itu sendiri dengan kesadaran penuh, aku jadi malu.

"Nggak perlu. Aku bisa masak sendiri."

"Ah... mungkin aku salah ngomong, ya? kalau begitu, mau kah kamu makan lalapan bersamaku...?"

Hening.

"Atau, kalau kamu nggak sibuk, mau nggak, pergi makan bareng aku?"

Aku jadi bingung sendiri.

"Memang apa bedanya?"

"Kamu suka yang berbeda, ya?"

"Apa, sih? Kamu sebenarnya mau ngomong apa?"

"Aku mau makan sama kamu!"

"Ya sudah!"

"Habis anterin anak-anak ini, ya. Nanti langsung kujemput."

Dream First ClassTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang