09. Belajar bermain

6 1 0
                                    

Kurasakan panas menyengat tubuh. Terbakar dari ujung kaki hingga ke kepala lalu menyentak tubuhku seketika. Aku terbangun. Melotot. Mendapati diri tengah terduduk dengan kedua kaki terselonjor. Tegang. Bingung. Namun menghela napas dalam-dalam, kemudian mencoba tenang, aku berpikir bahwa mimpi buruk seharusnya bukan perkara lagi untuk dipusingkan. Aku hanya harus terbiasa.

Kedua kaki menapak hati-hati di lantai dan berjalan ke jendela. Kusingkap tirai gorden dengan berani dan ternyata mentari sudah terang benderang. Pancaran sinarnya menyororti tempat tidurku dan debu-debu halus terlihat mengudara. Jam di dinding menunjukkan pukul sebelas sementara suhu badan terasa masih malam. Aku menunduk. Menyibak surai.

Melihat kedua kaki yang jari-jemarinya sudah tidak bengkak lagi membuatku sadar kala mengangkat ibu jari di sana untuk menghentak-hentakannya pelan seperti ketukan lagu. Sudah sembuh, ya?

Pertama-tama, yang akan dikatakan semua orang tentang hal baik adalah: Alhamdulillah, bersyukur atas kesehatan dan nikmat hidup yang diberikan Tuhan pagi ini. Tubuh masih utuh tak kurang satu apapun dan ambisi tidak dilahap waktu meski semuanya sudah terlambat untuk dimulai. Tapi tak dapat dipungkiri, keanehan pun menjalar mengitari hal tersebut.

Aneh karena dislokasiku bisa sembuh dalam semalam tanpa ada rasa nyeri sedikitpun. Aneh rasanya karena saat bercermin aku menemukan debu melapisi kulit wajahku. Saat kupastikan langit-langit kamar, sarang debu atau semacam jaring laba-laba tidak ada di sana. Aku jadi curiga saat merasakan perutku tak lama merasakan lapar yang tak tertahankan. Apa, jangan-jangan?

Brrrm,,, mpssss,

Aku berpaling keluar jendela. Melihat pick up memarkir diri di depan kos yang tak lama dua orang di depan keluar untuk menurunkan beberapa barang besar dibungkus kertas krep coklat dibelakangnya—digotong masuk ke dalam kamar tepat di sampingku. Aku menarik tirai untuk mengintip. Melihat Esa yang tengah berdiri di tengah halaman memantau kegiatan tersebut hampir dua puluh menitan sampai semuanya selesai. Setelahnya, supir dari pengendara pick up serta satu orang temannya mengacungkan jempol, kemudian membawa mobilnya keluar dari halaman kos dengan cepat.

Tunggu-tunggu. Bukannya itu tadi manajer sekaligus kasir di Larasa, ya? matanya kan sipit. Aku membuka pintu dan melangkahkan kaki keluar. Masih dengan surai yang berantakan, kotoran di ujung mata, muka yang sembab, juga baju piyama motif parangritis, dengan gagah berani menatap lawan yang nampak bersinar di bawah pantulan sinar matahari.

Esa sendiri tercenung. Dia terdiam seribu bahasa karena terpaku padaku yang berbentuk setengah rupa. Aku yang sadar diri paling jelek hanya berusaha meluruskan helai rambut dan mengusap wajah pelan. Ia memakai kaus pendek merah bertuliskan "fight" dengan gambar kobaran api pada bordernya. Jeans selutut mengekspose warna kakinya yang putih-bersih, berjalan mendekat dengan sesekali mengelus surainya yang terlihat mengkilap. Tapi meski begitu, nuansa tatapannya dalam dan gelap.

"Kamu kenal manajer di Larasa, ya?" tanyaku.

Tanpa basa-basi aku langsung menuding begitu. Ia me-loading pertanyaan dengan lambat meski jawabannya hanya sekadar anggukan kepala sebelum pandangannya beralih pada tangannya yang memegang kenop pintu dengan tergesa.

"Kok bisa?"

Aku menahannya dan ia jadi menjeda pergerakan. Kali ini dengan jelas menatapku tidak suka sambil mengkerutkan alis. Kamar kami bersebelahan dan tembok penghalangnya dibuat seperti perosotan, jadi para tetangga bisa saling menyapa dengan lebih leluasa.

"Memangnya, anda ada perlu apa, ya?"

"Eh—" dadaku mencelos. Apa yang ia katakan barusan? Anda?

Dream First ClassTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang