39. Tuhan dan kaktus

1 0 0
                                    


Pemirsa, pelaku berinisial E batal dijatuhi hukuman penjara oleh pengadilan karena diduga mengidap PTSD (post traumatic stress disorder). Disebabkan oleh pelecehan seksual yang dilakukan oleh korban atau teman dekatnya; berinisial R, pelaku E menyatakan sendiri motif dari pembunuhan yang ia lakukan pada sahabatnya tersebut karena didera rasa cemas akan takut dinilai gay oleh masyarakat umum.

Teg

Aku menekan tombol off pada remot TV. Berpaling sejenak dari depan monitor tersebut lalu berbaring di kasur. Cahaya sore menyelinap di sela-sela gorden yang tertutup. Terbias bersama debu-debu halus yang melayang mengudara, lalu suara detik pada jarum jam pun berdenyut. Mengosongkan pikiran.

“Masih kuat? tanya suara pada hatiku tiba-tiba. Aku memejamkan mata untuk menahannya.  “Ayo, bunuh diri saja!”

Rasanya seperti orang lain. Bisikannya selalu tentang hal-hal yang negatif, semacam setan. Belakangan ini aku menyadarinya, tapi aku tak berusaha melawan. Sebab dibutuhkan banyak energi untuk melakukan itu. 

Kini kalau ingin kabur dengan cara dibawa tidur, isi mimpiku hanyalah bencana alam. Aku kehilangan apapun yang kupunya. Keluarga, sahabat, orang-orang yang kukenal. Lalu dengan kekecewaan bibirku berkata: Memang seharusnya aku bunuh diri saja lebih dulu jika tahu ini akan terjadi. Tapi itu hanya mimpi. Sekali lagi, harus kutekankan dalam benak: itu tadi hanya mimpi.
Bullshit! terima saja! Percuma ditolak! Aku sudah lelah sakit!
Jika mencari-cari kesamaan, se-pot mini kaktusku kini paling mewakili rasa kesepian. Meski haus ia tidak meminta air, melainkan ia memeras seluruh sari-sari energi yang berada di dalam tubuhnya hingga perlahan menjadi pucat dan kekurangan gizi. Bunganya tidak dapat muncul karena rasa sakitnya. Ia memendam itu semua begitu lama hingga tinggal menunggu waktu kematian. Entah mengapa aku terbangun untuk mengambil botol spray yang kuisi ulang air putih dari kran wastafel. Mengambil kaktus tersebut untuk kubawa ke meja baca supaya kami bisa mengobrol dengan tenang.
Aku terdiam. Alih-alih menolongnya dengan cepat, aku malah meletakan botol spray itu tepat di sampingnya. Ia jelas tidak terima dengan keputusan tersebut, jadi aku bertanya.

  “Kamu masih pingin hidup, Tus?” Membuatnya kebingungan. Sepertinya tidak dapat berpikir lagi karena sedang sakit.

Aku menggaruk alis sendiri, masih bertekad membuatnya bicara.

“Botol air itu sekarang ada di sampingmu, loh. Kenapa kamu tidak ambil?”

Ia dengan jelas melirik botol air tersebut namun tetap memilih terdiam sepi. Aku menatap miris pada duri-duri kecilnya yang mengering, lalu memejamkan mata dengan penat.

“Kamu mau sekarat, lho! Kamu bisa mati kalau tidak minum!”

Ia hanya semakin depresi dan kecoklatan. Mengajakku berputar-putar heran dengan kelakuan bodohnya yang hanya bisa menangis dan mengeluh, tidak bisa menemukan jalan keluar sendiri … sepertiku.

“Apa mengeluh itu sudah jadi kebiasaanmu?”

Kali ini, Kaktus gantian menatap. Menyergap perasaan tersembunyi dari balik tatapanku yang bergetar, tak ingin lagi menyalahkan diri atas perasaan orang lain.

“Hei … apa seseorang yang membunuh temannya itu juga jadi tanggung jawabmu?” tanyanya mendikte. Tepat setelah itu isi kepalaku membeku. Fokus membuyar, lalu aku kehilangan diri untuk beberapa detik.

“Jawab!” tukasnya, jelas. Menggertakku dengan tatapan nyalangnya. Aku berusaha mengumpulkan pembelaan diri. 

“Tentu saja bukan!” sergahku yakin. Namun ia memicingkan senyuman.

“Oh, ya? Terus kenapa kamu menangis sepanjang malam? Siapa yang kamu tangisi sampai membuatmu lupa makan dan mandi setiap hari, huh? Perlu kau tahu, baumu sekarang sudah seperti bunga bangkai, tahu!”

“Hei! jangan asal bicara, ya!”

“Biarin! Kenapa? lagi pula siapa lagi yang bisa asal bicara kepadamu kalau bukan aku? siapa lagi di dunia ini yang bisa peduli padamu untuk menyuruhmu mandi, huh? Siapa?! Kau itu sebenarnya menolak untuk hidup di kenyataan, Nom. Mangkanya kau depresi!”

Dream First ClassTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang