49. Loser

1 0 0
                                    


Esa terkekeh saat menyadari sesuatu.
“Kau tahu, yang lebih mencengangkannya lagi?” tanyanya tapi bukan bertanya. Seperti hanya mengikuti caraku berbicara.

“Makasi atas Quotesnya. Cukup menghibur.”
Kuterima dengan gaya anak indie yang mencintai senja. Tidak menyangka pula bahwa kata-kata itu malah menghiburnya.

“Tapi kamu gimana dulu? Katamu pernah berada di posisi Olin waktu—eh, keadaan Olin gimana?”

Ia keburu mengubah topik saat menyebut anak tersebut. Ada kekhawatiran sekaligus ketakutan yang cukup pekat di matanya. Aku spontan menjawab.

“Baik.” Membuatnya tidak percaya.

“Seriusan? Nggak mungkin. Pagi ini gimana keadaannya?”

“Sedang tidur setelah minum obat sehabis sarapan.”

“Dia bilang apa tentangku?”

“Nggak ada.”

“Seriusan?”

“Serius .…”

Aku memang tidak ingin membebani pikirannya dengan rasa sakit yang sudah-sudah. Namun setiap kali bertatapan lama, ia seolah mendesakku untuk berbicara jujur.
“Aku ini laki-laki, sayang. Nggak apa-apa. Bicara aja secara jujur. Justru saat aku tahu semua hal tanpa ditutup-tutupi, aku bisa memikirkan bagaimana cara cari jalan keluarnya. Jadi kamu nggak perlu takut.”
Iya. Benar. Aku terlalu takut padanya. Bagaimana cara berkomunikasi dengan seorang pembunuh?
“Aku memang pembunuh. Tapi saat itu pun aku nggak berniat sampai membuatnya kehilangan nyawa. Mungkin saat itu aku nggak terima saja saat dia mulai mengancam hidupku.”

“Richie mengancam kamu?”

“Hm. Kamu tahu, nggak, kelemahan terbesarku adalah nggak bisa menolak permintaan orang lain? Kalau orang lain minta bantuan atau minta sesuatu untuk aku begini dan begitu, aku selalu bilang ‘iya.’”

“Aku nggak begitu memperhatikan, sih.”

“Kamu nggak pernah minta apapun dari aku, jadi wajar kamu nggak tahu.”

“Oh, ya?”

“Iya.”

“Terus, Richie mengancam apa sama kamu?”

“Banyak hal. Karena dia banyak membantu aku dalam menggali keahlian, dia nggak pernah minta bayaran uang, tahu. Melainkan minta ciuman. Minta peluk. Tapi sambil didasari bahwa kami sudah berteman dekat jadi wajar melakukan hal seperti itu.”

Angin yang cukup ribut sampai menutupi lubang telinga tiba-tiba tidak terdengar lagi. Seolah-olah fokus mendengarnya bercerita.
“Sampai sekian lama akhirnya kami melakukan sesuatu yang menurutku nggak masuk akal, tapi aku lakuin.”

“Sex?” tanyaku seolah membidik tepat di sasaran sampai membuatnya terkejut.

“Hm!”

“Dan kamu menikmati itu?”

“Sial …. iya lagi!”

“Kok, bisa?”

Ia menggeleng-geleng tak habis pikir. “Itu dia! Aku juga nggak ngerti. Heran. Mungkin karena dilakukan secara bertahap, tubuhku jadi beradaptasi. Aku sempat bingung dan berpikir ini nggak benar, tapi setelah menjalani cukup lama, aku malah ketagihan.”

Aku tak bisa mengontrol ekspresi untuk tidak merasakan jijik namun untungnya ia memaklumi itu.

“Aku akhirnya sadar sudah terlalu jauh terjerumus hal-hal yang nggak benar sampai akhirnya ketemu kamu. Ketemu anak-anak,” tuturnya sambil mengantuk-antukan kepalanya. “Dan kayaknya dari situ aku mulai ngerasa kalau aku masih normal.”

“Maksudnya?”

“Aku jatuh cinta sama kamu.”

Bukan bermaksud tak percaya, namun sekadar memastikan.

Dream First ClassTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang