61. Gili trawangan

0 0 0
                                    


Kami terdiam di mobil. Mengisi energi setelah mengobrol panjang dengan keluarga Pak Imron seharian. Esa tadi sempat meminta bantuan kepada Pak Imron untuk menghubunginya jika ada yang membutuhkan perabotan rumah tangga. Dan keesokan harinya rumah Esa tak henti-hentinya didatangi mobil pick up untuk mengangkut barang.

Rumahnya menjadi kosong. Kami bahkan duduk termenung di tengah-tengah ruangan beralaskan lantai marmer tersebut. Merasakan sepi yang merasuki ulu hati.

“Kamu nggak menyesal, kan?” tanyaku. Takut kalau-kalau ini tak sesuai ekspetasinya. Namun hebatnya ia mencebik sambil menggeleng. Meletakan kertas wish list di sampingnya dengan tenang.

“Aku nggak pernah menyesali segala keputusanku, Nom. Ini udah seperti yang aku bayangkan, kok.”

***

Wush~

“Ayo kejar aku!” kataku mengejeknya ketika mengkayuh pedal sepeda lebih cepat di sore hari. Pada naik-naikan jalan, pemuda itu ternyata sudah ngos-ngosan. Tak disangka ia lebih payah dariku yang bertubuh gempal begini. Aku menghentikan laju sepeda dan berputar balik. Melihatnya berhenti dengan prihatin.

“Kita bisa main yang lain nggak, sih?” tanyanya kesal. Aku berkerut alis.

“Kenapa? Ini kan sehat.”

“Capek tahu! Aku nggak pengen sehat! lagian bentar lagi aku kan, nggak ada. Ngapain harus sehat?”

Itu memang benar, namun aku kurang setuju.

“Jadi ngabisin waktu 6 bulan bisa tanpa kesehatan, gitu?”

Esa lalu menggigit bibirnya sendiri. Mencoba mencari solusi untuk ditempuh. “Kita main sepedanya di tempat lain aja.” membuatku melepaskan lipatan tangan di dada. Memajukan dagu karena penasaran.

“Di mana?”

Hari ke hari pun terasa bahagia walau pagi ini aku masih seperti biasa melingkari tanggal di kalender dengan spidol merah. Kami berdua akhirnya menyusuri permukaan laut dengan kecepatan penuh speed boat dari teluk Nare menuju pulau Gili Trawangan yang terletak di utara pulau Lombok. Dari rumah menuju teluk Nare, kami menggunakan Grab karena tidak ada tempat untuk menitip mobil. Lalu untuk menyebrangi laut menuju Gili trawangan dengan memakai speed boat, bagi Esa ia hanya perlu mengeluarkan 350 ribu untuk sensasi yang luar biasa. Percaya tak percaya, kendaraan tersebut bisa membuat kami merasa seperti menaiki mobil ferari dengan cap terbuka yang berlari cepat di atas aspal jalan.

Aku memegang erat kepalaku. Melindungi floppy hat yang siap terbang karena diterjang angin laut sementara Esa menikmati hempasan tersebut dengan kacamata hitamnya. 

Aku baru kali pertama ke Gili Trawangan dan tidak pernah membayangkan akan pergi ke sana bersama seorang pria yang ketika speed boat berlabuh menyentuh permukaan, ia melompat turun lalu menoleh ke belakang untuk mengulurkan tangannya padaku. Aku membentangkan pandangan seluas-luasnya. Merasa terpukau dengan apa yang bisa mataku lihat sekarang. Sebab, hanya butuh waktu 15 menit saja …. kau bisa dihantar ke depan pintu gerbang surga Party Island. Pulau yang sekalinya ujung kakimu menyentuh pasir di bibir pantainya, membuatmu ingin menetap selamanya.

Disepanjang hamparan pasir, berdiri café-café luas yang memadupadankan estetika gorden putih pada kerangka-kerangka kayu yang seolah-olah ketika malam akan berubah menjadi tempat dinner romantis pasangan baru menikah. Di sebrang daratannya, berdiri bangunan unik café, maupun villa kecil yang berjejer panjang menghadap pantai tersebut seperti mengusung konsep open house bagi berbagai macam bentuk turis lokal maupun manca Negara yang selalu ramai berlalu lalang pada lorong pohon pinus.

Ada cidomo. Alat transportasi khas Lombok. Bentuk belakangnya seperti becak yang cara berjalannya di kaitkan pada seekor kuda buncit. Banyak manusia berambut pirang yang berjalan hanya memakai bikini di siang hari. Dan pemandangan tersebut berada di mana-mana. Di meja-meja makan restoran, di atas sepeda-sepeda keranjang, dan tentunya di matras-matras yoga pinggir pantai.

“Di sini ramai banget, ya,” kataku kala menelusuri jalanan itu. Esa yang berada di depanku hanya berdeham sebelum akhirnya menengok menyodorkan tangan kanan. Ia melihatku dari balik kacamata hitam dan topi pantainya dengan gugup. Menghentikan langkahnya yang membuatku tak sengaja menubruknya pelan.

“Kenapa?”

“Mau pegangan tangan?” tawarnya. Aku mendengus, nyaris malu-malu namun tak lantas menolak. Ia tersenyum geleng-geleng kepala saat tanganku akhirnya menyentuhnya dan jari-jemari kami pun secara otomatis terkunci. Rasanya seperti sedang berpacaran.

“Kita sebenarnya pacaran nggak, sih?” tanyaku padanya yang dari tadi masih senyam-senyum sendiri. Ia malah membalikannya padaku.

“Menurutmu? Aku apa aja, deh. Terserah kamu. Pacaran boleh, temenan boleh.”

“Menikah? Jadi suami-istri, boleh?” tembakku yang nyaris menghentikan senyumannya. Ia seketika jadi terbatuk-batuk. Sepertinya memang sudah tidak sanggup lagi berpikir tentang hal itu. 

“Hm—mau naik sepeda?” tanyanya mengalihkan topik pembicaraan begitu saja ketika melihat deretan sepeda di samping jalan. Aku mendongak. Penglihatanku agak di halangi oleh bundaran topi rajut ini.

“Jadi kita jauh-jauh ke sini buat naik sepeda, ya?”

“Kan kemarin kubilang kita naik sepedanya di tempat lain aja.”

“Tempat lain itu Gili Trawangan?”

Aku menyisipkan rambut agar tidak menghalangi mata. Berusaha memahami cara berpikir orang kaya sepertinya. Ia melihatku, namun fokusnya teralihkan dengan sesuatu yang diamatinya pada wajahku. Aku mengerjap menunggu.

“Ya udah, deh. Mau sekarang?” tanyaku. Melepaskan genggaman untuk menghampiri sepeda tersebut.

“Eh,” katanya yang tak menyangka akan sesuatu, lalu terdiam dengan muka melongo.

“Kenapa?”

“Hm.” Ia berdeham sambil menggaruk kepalanya. Mencari-cari alasan. “Nanti aja, deh. Belum mood,” sergahnya. Ia pun tanpa sadar menyuruhku menjauhi sepeda dengan gerakan tangannya yang terulur. Meski tubuhku sudah mendekat, tangan itu masih saja terangkat di udara. Mencari-cari sesuatu. Jangan bilang tidak tahu. Aku Sembilan puluh Sembilan persen mengerti dia. 

“Kamu maunya jalan-jalan sambil gandengan tangan sama aku, ya?” tanyaku sambil meleotkan kepala ke arahnya. Membuat tangannya mengepal canggung. Gengsi untuk mengakui.

“Apaan, sih!”

“Pake ‘apaan sih,’ lagi. Bilang ‘iya’ aja kali.”

“Iya,” katanya langsung dengan muka jelek. Kepalang tanggung. Menawarkan tangannya lagi secara sewot. Aku langsung menyabetnya sambil tertawa lepas.

Mengayunkannya ke depan dan ke belakang seperti anak kecil. Esa malah meladeni itu dengan menambahkan gaya berjalan bagaikan Dora memakai ransel. Melompat-lompat konyol.

Membuatku tertawa lagi. Ini adalah salah satu impianku saat masih kecil. Berjalan-jalan dikeramaian sambil bergandengan tangan dengan orang yang kucintai.

***

Dream First ClassTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang