58. Sisa Waktu

0 0 0
                                    


Ini begitu mendadak. Padahal kami berjanji untuk bertemu esok hari, namun sekarang ia malah mengirimkanku surat seolah tidak bisa diomongkan secara empat mata. Aku selalu butuh waktu untuk berpikir, sedangkan Esa tidak. Ia tipe orang yang ingin segala permasalahannya bisa diselesaikan hari itu juga.

"Halo, kamu di mana?" tanyaku saat mengapit ponsel itu antara pipi dan bahu. Kedua tangan sedang memasang kaus kaki.

"Rumah," jawabnya lesu. Ia tidak terdengar seperti baru habis bangun tidur. Apa dia begadang lagi? Bisa jadi. Dia mengirimkanku surat pagi ini.

"Jangan ke mana-mana, ya. Aku ke sana sekarang."

Mau tidak mau aku jadi rapi. Entah mengapa dikirimi bunga dan surat malah membuatku takut karena seperti diberi pertanda bahwa ia ingin mengakhiri hidupnya sendiri.

***

"Hai," sapanya santai selepas aku berlari gupuh masuk ke dalam rumahnya tepat setelah melepaskan sepatu di depan. Sejauh ini tak ada luka yang terlihat. Ia memakai celana katun coklat dengan kemeja panjang putih. Tersenyum bersama rambut yang ditata rapi dengan aroma parfum maskulin. Aku mengatur napas diafragma.

"Mau ke mana?" tanyaku.

Tak lantas menjawab, kakinya malah berjalan mendekat untuk memelukku seperti biasa. Ia meringsek menghirup kuat-kuat ceruk leherku sebelum menambahkan kecupan di kening dan kedua pipi. Rasanya begitu nyaman, tapi aneh.

"Ada apa? tumben-tumbenan kamu cium aku?"

Kedua tangannya pun langsung mengangkat di udara. "Oh sorry, nggak boleh, ya?"

Membuatku kebingungan dua kali. "Ya nggak boleh, sih. Kita kan belum nikah."

"Hm .... berarti kalau sudah nikah, aku boleh cium kamu, kan?" tanyanya, menyodorkan pengajuan. Aku pun mengangguk dengan tatapan gamang. Masih tidak mengerti dengan konsep pakaiannya pagi ini.

"Kamu mau ke mana?"

Kedua tanganku dielus-elus seperti sedang memegang kucing. Ia pun menunduk dengan muka malu. Entahlah. Ekspresi apa itu. Aku tidak mengerti.

"Aku mau pergi, ya, sayang. Kamu jagain anak-anak sendiri. Nggak apa-apa, kan?"

"Ke mana? Kamu mau pergi ke mana dulu?"

"Aku mau menghadap Tuhan, sayang."

"Kok ngomongnya kayak gitu, sih .... kenapa?"

"Ya nggak apa-apa. Emang nggak boleh, ya, aku menghadap Tuhan? Kamu sayang nggak, sama aku?"

Pertanyaannya random sekali. "Aku nggak ngerti maksud kamu, deh. Dari kemarin kamu bilang dapat firasat-firasat buruk, tadi pagi juga kirim bunga, tulisin aku surat. Eh, sekarang kamu malah pamit mau pergi. Kamu maunya apa, sih, Sa? Coba kasih tahu aku yang sebenar-benarnya. Ada apa?"

"Sayang," panggilnya sedikit gusar. Aku menjawab, "Hm." Sambil mengatupkan mulut.

"Boleh nggak, kita menghabiskan waktu tanpa bertanya ini maksudnya apa, itu maksudnya apa, begitu? Aku sendiri juga nggak tahu aku ini sebenarnya mau apa? Tapi yang jelas, aku mau habisin waktu sama kamu terus pergi dengan tenang. Itu aja. Aku sudah nggak kuat sakit, sayang. Kamu mau ya, jalan-jalan sama aku?"
Aku menelan saliva. Bingung harus bagaimana setelah disuapi pernyataan yang sebenarnya sulit untuk diterima.

"Jadi .... firasat itu benar, ya?"

Esa menyuguhkan wajah yang tersenyum cerah. Sukses membuatku berpikir bahwa ini hanya mimpi.

"Seharusnya kamu memperbaiki hidupmu dulu sebelum menyerah."
Ia malah menggeleng. Menyudahi omong kosong ini dengan kebijaksanaannya.

"Aku terlalu hancur untuk diperbaiki, Nom. Lebih baik sekarang kuhabiskan apapun yang tersisa. Kamu tahu caranya memperbaiki mobil yang meledak? Membuat utuh gelas kaca yang pecah berkeping-keping? Mengembalikan waktu yang terdistorsi? Nggak, kan? Sementara nyawaku tinggal sedikit, aku sama sekali nggak mau memperbaiki semuanya."

Dream First ClassTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang