53. Negosiasi

0 0 0
                                    


Ajeng membuat kontak mata dengan Pak gurunya. Setelah itu meringsuk mendesakku dengan rengekan bayi.

“Mau pulang,” katanya nyaris menangis.

Aku merasa pusing. Mengurusi anak-anak memang bukan pekerjaan yang mudah. Salut dengan Ibu-Ibu di luar sana yang bersedia menikah untuk memiliki anak. Lebih-lebih saat ekonomi sedang tidak stabil lalu membiarkan anaknya tumbuh dalam serba kekurangan.

Aku tidak pernah mengerti caranya menjadi Ibu yang baik selain merasa khawatir tidak bisa membiayai hidup mereka lalu tanpa sengaja membuat mereka menderita sepanjang hidupnya. Namun derita itu tak lantas hanya mengenai ekonomi yang sulit. Banyak faktor lain seperti: perceraian, penganiayaan, pengabaian, dan kekerasan yang membuatku semakin tidak mempercayai pernikahan.

Kau tidak pernah tahu apa yang akan terjadi ke depan meski saat menikah di hadapan Tuhan, kau akan dengan yakin berjanji untuk saling mencintai hingga maut memisahkan.

“Aku juga bawa Dinosaurus untuk Rico, lho.” Esa memecahkan lamunan. Memilah isi paper bag-nya dengan teliti sambil langsung duduk di lantai. 

“Ini ada Avatar buat Tato, terus Avenger buat Toto juga, tuh.”

Esa meletakannya bebas untuk pamer agar anak-anak terayu mau berbicara dan melepasku. 

“Bilang apa, sayang?” tanyaku pada ketiga jagoan cilik. Namun hanya Rico yang mengulurkan tangannya bermaksud menerima.

“Terima kasih Pak guru.”

Betapa senangnya seseorang yang memberikan mainan itu kembali disebut dengan panggilan Pak guru. Ia bahkan mendekatkan diri untuk menggapai Rico lebih dekat.

“Sama-sama, sayang. Cium dulu, dong,” pintanya sambil memajukan bibir. Hal itu mendapat sambutan hangat dari Rico yang langsung bersedia menyodorkan pipi gembilnya.

“Muah,” Kecupnya yang entah mengapa selalu terdengar meriah. Rico jadi merasa senang karena merajuk selama tiga hari saja, ia bisa mendapatkan Dinosaurus sebesar termos, bagaimana kalau seminggu?

“Jadi Tato sama Toto nggak mau mainan, nih? Ya udah nggak apa-apa.”

“Buat Rico aja gimana, Pak guru?” Hanya karena mainan, bocah bertubuh gempal itu jadi lupa diri.

“Oh, boleh banget, dong!” Esa malah mendukungnya lagi.

“Eh, eh, nggak.” Tato si tukang sewot telah kembali. Ia langsung mengambil mainan yang sudah semestinya menjadi miliknya. Menatap judes kepada Rico.

“Udah dapat bagian sendiri, masih mau ambil punya orang lain lagi.”

“Bukan orang lain, sayang. Ya mangkanya kalau dikasih cepetan diterima, dong, biar nggak diambil saudaranya.”

Esa masih sempat menasehati meski kehadirannya tidak diterima dengan baik oleh anak-anak. Aku mengusap kepala salah satu anak yang baru saja mendapatkan mainannya—yang sumbunya pendek tersebut dengan kekehan kecil.

“Bilang terima kasih, dong, jangan lupa.”

“Makasih, Pak guru.”

Esa pun mengangguk. Berkedip pelan lalu membuka tangannya untuk memeluk Tato.

“Sama-sama sayang. Jangan marah-marah lagi, ya.” Tak lupa satu kecupan dikening sebagai bonus karena si bocah mengangguk.

“Toto? Nggak mau?”

Kembaran Tato ini nyaris tidak pernah bawel seperti yang lain. Ia mengikuti arus dan tidak banyak tingkah. Tapi terkadang itu yang membuatku khawatir.

“Kamu sehat, kan?”

Meski begitu, anak itu mengangguk mantap sambil menerima mainannya dengan riang gembira.

“Itu ingusnya meler. Pilek, ya?”

Esa bertanya padaku. Aku sedikit terkejut karena tidak sadar sedari tadi.

“Hah? Masa iya pilek?”

Dream First ClassTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang