16. Celaka

4 0 0
                                    


“Yatim piatu?”

Esa mengangguk. Membukakan aku botol air yang berisi cairan penambah ion. Aku masih menopang kepala anak-anak di pahaku sembari memperhatikan Ajeng yang masih tertidur pulas dengan seksama. Pipinya kuelus-elus. Ia menghadap ke perutku ingin mencari kehangatan.

“Ibunya meninggal karena penyakit kanker payudara. Kemudian sebulan setelahnya ayahnya meninggal karena kecelakaan tunggal tengah malam. Diduga karena sedang mabuk, tapi ibunya bilang anaknya nggak pernah mabuk-mabukan.”

“Ajeng punya nenek?”

“Iya. Nenek dan kakek yang masih segar bugar. Mereka bahkan menjual berkilo-kilo semangka di pasar. Kalau dilihat sekilas, mungkin nggak ada yang tahu kalau Ajeng itu cucu mereka karena terlihat seperti orang tua dan anak pada umumnya.”

“Oh, ya? Kamu pernah bertemu mereka?”

“Setiap hari,” katanya menselonjorkan kaki. Kemudian ia menyentuh pipi gembil Rico.

“Bapaknya anak ini, memintaku untuk mencarikan distributor buah-buahan yang murah karena beliau punya toko kue. Peninggalan istrinya.”

Kalimat diakhir itu memberikan rasa kejut yang alami. “Maksudmu, Rico juga nggak punya Ibu?” tanyaku hati-hati. Esa pun membenarkan.

“Beliau meninggal saat melahirkan Nana.”

“Nana ini adiknya Rico?”

“Iya. Memang kamu pikir adiknya siapa?”

“Kupikir adiknya Ajeng karena mereka mirip.”

“Kebanyakan anak kecil memang punya wajah yang mirip-mirip. Mangkanya rawan tertukar kalau di rumah sakit.”

“Itu kan yang baru lahir memang sulit dibedakan. Tapi ini, mereka benar-benar mirip, lho,” tukasku berusaha membandingkan keduanya. Esa hanya terkekeh sambil menenggak minuman kalengnya.

“Jodoh mungkin, mangkanya mirip.”
Aku tergugu sendiri. Bertanya-tanya apa kami berjodoh atau tidak pada Tuhan, namun bibir ini hanya menyuarakan hal lain.

“Terus, kamu kenal ayahnya Rico dari mana?”

Ia tengah asyik merasakan bagaimana kedua kakinya menggesek-gesek rumput yang baunya menjelang senja terasa dingin. Senyuman canggung yang terlihat selalu sama disetiap waktu itu pun seolah tengah menegurku karena banyak bertanya. Tapi anehnya ia selalu sanggup menjawab dengan sepenuh hati.

“Aku mantan karyawannya,” katanya sambil meletakkan kaleng minumannya yang sudah habis. “Tapi sudah resign setahun yang lalu.”
Mungkin mempertanyakan kenapa dia resign hanya akan membuatku terlihat seperti penguntit sungguhan. Kalau begitu, mengangguk pelan adalah cara terbaik.

“Kamu nggak bertanya, kenapa aku resign atau perusahaan apa yang ayahnya Rico punya?”

Batinku terlonjak. Antusiasme pun mulai bergejolak. “Boleh?” tanyaku dengan kedua mata membulat. Esa pun tertawa.

“Boleh lah. Kita kan, bakal kerja bareng. Jadi harus terbuka.”

“Memang apa jawabannya dari dua pertanyaan tadi?”

“Aku resign karena bosan lalu perusahaan ayahnya Rico bergerak di bidang Properti.”

“Kamu bagian apa di sana?”

“Tidak tahu juga disebut bagian apa. Aku hanya melakukan ini dan itu sesuai perintah beliau.”

“Mungkin kamu sudah menjadi tangan kanannya. Tapi, kamu bosan karena itu?”

Ia menggeleng. “Bukan,” ucapnya dengan dagu yang mengkerut, kemudian berkata dengan nada yang pelan.

“Aku hanya takut masuk penjara.”

Dream First ClassTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang