11. Everything will be fine, Right?

7 1 0
                                    


Kata nenekku, hujan yang begini namanya hujan awet. Sesekali lebat saat curahnya sedang tinggi. Terus menerus turun secara konstan. Aku dan Esa masih bingung caranya pulang meski jarak dari sini ke rumah kami tak lebih dari 100 meter. Warung lalapan tadi terpaksa tutup dan tanpa sengaja mengusir kami pergi, dan kami sekarang berada di pinggir ruko tepat di belakang tenda tersebut. Melihat kanan-kiri yang sudah sepi. Hanya sedikit kendaraan yang berlalu-lalang.

"Pulang, yuk!" Ajak Esa tiba-tiba.Aku terdiam, lalu mendongak menatap langit. Ini bukan perihal mau pulang atau tidak, tapi aku bisa menggigil seperti orang malaria dan keesokan paginya akan jatuh sakit kalau sudah terkena hujan. Jiwaku ini suka menantang, tapi fisikku sendiri lemah. Selalu tak selaras.

"Dari perkiraan cuaca, tiga jam kedepan masih hujan." Ia memeriksa ramalan cuaca pada ponselnya lalu mendengus pelan. 

"Masih mau diam di sini tiga jam lagi? kamu nggak ngantuk?" Dikantong, ponselku terasa bergetar pula, tapi kuabaikan karena ingin menanggapi Esa. 

"Kalau kamu biasa mandi hujan atau nggak pernah sakit kalau kena hujan, boleh-boleh saja, sih," tawarku sebaliknya. Ketidakcocokan kini datang dari mulut sendiri. Esa pun mengusap dagu."Oh, jadi kamu sering sakit kalau kena hujan, ya?" 

Duarrr

Tiba-tiba petir menyambar tiang listrik di sebrang jalan. Begitu besar dan suaranya seperti ledakan kembang api raksasa di angkasa. Kami terlonjak bukan main sebelum Esa mendadak jadi sakit kepala karena terlalu terkejut. Tubuhnya bergetar seperti orang menggigil namun ia sempat-sempatkan untuk melihat jam pada layar ponselnya. Aku membeku ditempat. Ketakutan. Hujan berubah menjadi deras namun anehnya tidak ada tanda-tanda kebarakan atau konslet. Hanya kembali seperti sedia kala. "Aku baru pertama kali melihat petir sedekat ini," kataku entah mengapa terkagum. Esa pun menoleh heran namun ia menyetujui hal tersebut. "Aku juga."

"Kamu nggak apa-apa?" tanyaku khawatir karena tadi ia sempat memekik kesakitan sambil memegang kepala namun untungnya ia mengangguk. Melempar pertanyaan serupa padaku sebelum berlari kecil ke arah motor untuk mengambil sesuatu di dalam joknya. 

"Kita sebaiknya pulang sekarang sebelum petir menyambar lagi," katanya bergegas sambil mengibas jas hujan dan memakainya dengan cepat. "Aku takut. Bisa saja saat pulang nanti kita yang tersambar petir." 

"Kamu sembunyikan saja mukamu dipunggungku, nanti akan kuusahakan ngebut!"

Aku bisa melihat bagaimana jaket parasut miliknya terbang sekilas dan terbentang di belakangku menutupi kedua pundak. Ia membenarkannya sejenak dan aku pun merasakan déjà vu. Membantuku memasukkan kedua tangan dilengan jaket sementara sekelumit tanda tanya ini menggantung di udara.

"Kamu memang biasa perhatian sama orang lain begini, ya?" tanyaku. Terdengar gugup. Ia pun melirik geli."Kenapa? Kamu nggak suka diberi perhatian?"

"Bukan... hanya saja, gadis polos sepertiku ini bisa salah paham dengan perlakuanmu."

"Gadis polos? Hm, oke. Kalau adek mau salah paham sama kakak juga nggak apa-apa. Kakak nggak masalah, kok."

"Bukan begitu," ujarku pelan. Menghentikan candaannya. " Karena kalau sudah salah paham biasanya urusannya bakal jadi panjang...!"

"Memangnya, kamu nggak mau berurusan panjang denganku?"

"Memangnya, kamu buka lowongan kerja supaya bisa berurusan panjang denganku?" Esa menaikan satu alis. Aku malah bertanya lagi. 

"Jadikan aku guru anak-anak mungkin?"

Ia jadi bingung. 

"Anak-anak?"

Dream First ClassTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang