56. Firasat bullshit

0 0 0
                                    


Aku melihat jauh kepada lingkaran cahaya berwarna orange yang perlahan terbenam diperbatasan laut. Merasakan deburan ombak menyentuh kuku kakiku di bibir pantai. Selepas melayat, Ajeng menawarkan adik-adiknya untuk pergi bermain di rumahnya karena katanya sang kakek sedang ulang tahun. Olin sang kakak tertua juga diajak meski kami khawatir ia dalam kondisi yang tidak stabil.

“Tenang aja. Ada Ajeng di sini,” kata anak itu yang tetap membujuk dan berjanji bisa menjaganya dengan baik. Esa pun mengangguk mengiyakan sebab ia bilang ada sesuatu yang ingin dibicarakan berdua juga denganku. Tanpa anak-anak. 

Aku setuju. Tapi kami malah terdiam membisu di mobil. Membiarkan lagu Justin bieber—changes menggema dalam playlist. Tidak ada yang mulai berbicara sampai akhirnya aku menangkap sunset ini saat perjalanan pulang dan Esa jadi menawarkan pantai Gading sebagai tempat yang tenang untuk mengobrol.

“Kamu mau ngomong apa?” tanyaku tepat ketika ia meletakkan bokongnya di pasir dan menyodorkanku sekaleng minuman dingin.

“Tentang Olin?” tambahku lagi menebak-nebak. Ia menggeleng lalu menyeruput buih soda yang menyembul pada lubang kalengnya. Menghitung waktu mundur untuk berbicara dengan tempo yang tepat.

“Tentang kita,” katanya. Membuatku menoleh penasaran. Tidak bisa menemukan gambaran apapun tentang itu.

“Tentang kita. Tentang apa?”

Angin keras khas pinggir pantai menerpa kami. Aku melipat rokku ke depan. Kedua lutut kutekuk agar angin tak membuat rokku mengembang. Esa melepaskan jas hitamnya kemudian memakaikannya padaku. Mengusap-usap pundak sambil melihatku begitu manis dengan matanya yang tajam. 

“Baru-baru ini aku sadar, kalau hidup itu ternyata sederhana ya, Nom.”

“Oh, ya?” tanyaku, memundurkan dagu. Berkedip cepat. “Apa yang mendasari kamu bisa berpikir begitu?”

Ia mengendikan bahu. Memajukan bibir bawahnya dengan gemas.

“Banyak hal. Selama ini aku selalu berpikir untuk mencari sesuatu yang hilang dari diriku. Contohnya: tentang keluarga. Tentang masa lalu. Tentang trauma masa kecil, yang jelas-jelas nggak ada dalam memori ini,” tunjuknya pada kepala sendiri. Kemudian meneguk soda lagi.

“Aku nggak seperti kamu yang bisa bilang Ayahmu begini dan begitu bahkan dalam konotasi yang buruk sekalipun. Aku nggak bisa membayangkan seperti apa diriku saat kecil. Mangkanya aku suka banget main sama anak-anak karena ngerasa kayak: apa dulu aku kecil kayak Rico, ya? atau tukang sewot kayak Tato? Apakah anak cupu dan manis seperti Toto? atau pemberani seperti Ajeng? atau malah …. pendiam dan cengeng seperti Nana?”

Aku mendengarnya dengan teliti. Merapikan rok lagi sambil menggenggam kaleng minuman itu di atas lutut. Memperhatikan ujung kaki milik sendiri yang selalu mengarah persis padanya. Aku teringat kata-kata Pak guruku waktu SMA. Jika seseorang mengarahkan ujung sepatunya padamu, tidak peduli ia bahkan sedang mengobrol atau tidak melihatmu sekalipun, ujung sepatu itu menandakan bahwa orang itu benar-benar menaruh perhatian lebih. Mereka ingin selalu mengenalmu dan bersedia tinggal hanya untuk melihat hal-hal baik darimu. Dan aku terbelalak. Tidak percaya telah melakukan hal itu untuk Esa.

“Setiap kali melihat atau mengobrol dengan mereka …. aku berharap itu aku, tahu.” Ia masih tersenyum atas imajinasinya. Menaruh minuman di samping lalu menempelkan kedua telapak tangan di pasir dua jengkal dari bokongnya. Kakinya berselonjor. Ia menengadahkan kepala dengan santai.  

“Aku melihat mereka semua itu adalah aku. Jadi aku suka memeluk mereka. Memberikan kasih sayang. Memberikan perhatian penuh. Bertekad membuat mereka bahagia. Ternyata bukan karena semata-mata aku ingin membangun perusahaan yang mana semua anak-anak bisa kita tampung untuk dibiayai hidup dan dibimbing menuju impiannya. Tapi karena ternyata …. aku merindukan diriku sendiri.”

Ia menoleh melihatku yang masih setia mendengarnya. “Karena aku melihat anak-anak adalah diriku sendiri, makanya aku peluk. Aku sayang. Aku buat bahagia. Kalau mereka sedih. Anehnya aku bisa tiga kali lipat lebih sedih. Kalau mereka marah, aku jadi khawatir. Kalau mereka kecewa, aku merasa bersalah. Ngerti, nggak?”

Aku berdeham sambil mengangguk lagi. Ia khawatir aku tidak masuk dalam obrolan yang baru beberapa menit ini sudah menyelam cukup dalam.

“Jadi …. apa lagi yang masih ingin kamu cari setelah merindukan dirimu sendiri?”

Ia berpikir, namun dengan cepat menggeleng. “Nggak ada.”

Kemudian aku meneguk soda sendiri. Membiarkannya membual sesuka hati.

“Ingatan yang hilang itu bisa jadi bukan punyaku. Entah masa lalu seperti apa yang telah membentuk aku hari ini, tapi yang pasti …. Tuhan, telah mengizinkan aku mempunyai sekarang, dan mungkin juga besok. Dimana itu ada kamu. Ada anak-anak. Ada rumah. Ada uang. Ada penerimaan. Ada kesetiaan. Ternyata hal-hal yang aku butuhkan itu sudah terpenuhi, Nom. Dan itu sudah lebih dari cukup. Apa lagi yang harus kucari?”

Mendengarnya berkata seperti itu membuatku agak sedikit lega. Mungkin sudah waktunya aku sekarang yang mencari kebahagiaanku sendiri.

“Tapi Sa—”

“Tapi Nom.” Esa mengeluarkan suara lebih kencang dariku. Menunjukkan kedua netra yang nampak berkaca-kaca. Melanjutkan dengan sedikit lirih. “Aku ngerasa kayaknya umurku nggak akan lama lagi.”
Itu membuat jantungku berdegup kencang karena terkejut.

“Kenapa? Kamu ada penyakit?”
Ia menggeleng. Tak mau memberitahu atau memang tidak ada penyakit yang bersarang pada tubuhnya.

“Orang-orang diberikan firasat tentang umur mereka, Nom. Aku sudah merasa cukup dengan apa yang kupunya sekarang. Kamu pernah dengar nggak, kalau orang-orang yang sudah mencapai kepuasan dirinya dengan baik, tandanya sudah mendekati kematiannya?”

“Nggak. Aku nggak pernah dengar. Ngarang dari mana kamu?” tanyaku dengan muka judes. Ia jadi terkekeh karena malu kuanggap konyol.

“Aku nggak ngarang, Nom. Ini serius.”

“Iya, oke. Itu menurut kamu. Tapi menurutku, selama kita masih dikasih hidup di dunia ini, lebih baik kita pakai untuk mencari cara bagaimana menjadi manusia yang berbahagia. Bukan malah berpikir tentang kematian. Memang benar kita pada akhirnya akan meninggal. Tapi kita kan nggak perlu duduk diam untuk menunggu itu? Masa iya karena dapat firasat langsung udahan gitu? Nggak mau lagi melakukan kebaikan?”

“Bukan, sayang. Justru aku maunya melakukan kebaikan semampu aku sementara menunggu waktu aku tiba.”

“Waktu apa? Ih, kamu dapat firasat dari mana, sih? Jangan ngada-ada gitu kenapa. Kan buat orang lain jadi nggak tenang.”

“Bukan mengada-ngada. Sayang, ini memang benar aku ngerasainnya begitu.”

“Iya udah kamu jangan kegeeran dulu. Bisa jadi malah aku yang duluan kan nggak ada yang tahu. Lagian ngapain, sih, kamu sok-sokan ngajak ngobrol serius ternyata malah begini?”

“Ya kan aku—”

“Jangan-jangan kamu juga bilang sama anak-anak, ya, tentang ini? Mangkanya mereka pada nurut sama kamu. Ngapain, sih ….? Kan kasihan anak-anak jadi kepikiran nanti.”

“Kamu nggak kasihan sama aku?”

“Ya enggak juga—kamu lagian, ih!”

“Kamu pikir ini omong kosong, ya?”

“Bukan. Iya terus aku harus bagaimana?” tanyaku dengan muka menekuk panik dengan pikiran semrawut. Waktu seolah berhenti untuk beberapa detik ketika tanpa sadar aku malah meneteskan air mata. “Kalau kamu pergi aku harus kayak gimana coba? Aku bisa bantu apa? Emang aku bisa apa kalau kamu nggak ada?”

Esa seperti merasa bersalah karena membuatku menangis lagi jadi ia memelukku.

“Kamu pasti bisa melakukan apapun, kok, Noumi. Nggak apa-apa.”

Jujur aku sudah tidak mempan mendengar kata-kata afirmasinya hingga kaleng soda yang isinya sudah kuminum habis itu remuk digenggamanku. Aku melepaskan diri dari pelukannya, kemudian berdiri dengan tegap sebelum menepuk-nepuk bokong untuk menghilangkan pasir yang menempel. Secara gagah mengusap air mata sendiri.

“Udah! Aku udah capek nangis gara-gara kamu. Kamu nggak perlu hibur-hibur aku lagi. Urus dirimu sendiri dari sekarang. Aku mau balik ke Manado,” cercaku dengan geram. Membuang bekas kaleng itu di dekatnya kemudian berputar balik untuk melarikan diri.

“Noumi!”

***
 

Dream First ClassTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang