13. Sebuah rahasia

8 1 0
                                    


Kemarin mendung. Hari ini pun mendung. Sudah tiga hari ini mendung. Kabar awan disetiap pagi adalah mendung. Hujan menangis tidak seperti biasanya. Aku jadi menggigil dan mual. Angin di luar masuk melalui celah jendela yang minta ditutup dengan hati-hati sebelum kemudian aku duduk menepi di kasur untuk menutupi tubuh Meli yang tengah tertidur dengan selimut.

Ia mendengkur pulas setelah tadi sempat berkelahi dengan adiknya saat mereka bertemu di dapur. Meli melayangkan kata-kata kasar dan menyayangkan kepergian sang ayah yang seharusnya bisa digantikan oleh adiknya itu. Baru kali ini kulihat ia berteriak marah dan mengaum bagai singa kelaparan, sebelum akhirnya jatuh terlarut dalam mimpi-mimpi indah yang katanya tidak pernah ia dapatkan selama ayahnya masih hidup. Imsomnianya mendadak berhenti total. Bahkan dipagi hari pun sanggup ia habiskan untuk tertidur. Aku jadi bingung harus bersikap bagaimana.

Diluar kamar, para tetangga selalu meramaikan rumahnya untuk memberikan sumbangan sembako atau sekadar tenaga untuk membantu Ibunya Meli mempersiapkan acara Yasinan untuk nanti malam.

Aku bertugas menemani Meli agar ia tidak merasa kesepian. Ibunya Meli bahkan dua kali sehari menengok keadaanku untuk menawari makan. Aku jadi tidak enak sendiri karena seharusnya bukan aku yang diberi perhatian ditengah kondisi seperti ini, tapi jika tidak seperti ini pun, aku sering tersesat. Terjebak dalam tangis sebuah keluarga yang tengah berduka itu rasanya aneh. Sekalipun aku teman dekatnya Meli.

Meli tidak meminta untuk dimengerti, namun aku hanya mengumpamakan diri jika seandainya berada pada posisinya. Ia pasti butuh seseorang di sampingnya. Aku tidak bisa membayangkan rasa sakit ketika belati menikam jantung seseorang, tapi ketika Meli tidak lagi bisa menangis—duduk melamun tidak fokus dengan sorot mata yang menguap, aku tahu sepertinya rasa tertikam itu hanya akan bercokol dalam rongga dada tanpa mau pergi. Selamanya. Sakit yang kelewat sakit sampai mulutnya tidak lagi bisa menjerit atau sekadar meminta bantuan pada orang lain. Sakit yang sudah tidak bisa lagi membuatnya menahan sakit.

"Aku ingin amnesia, Tuhan."

Bulir air mata mengalir sementara seulas senyuman terpatri di bibirnya. Dan malam itu menurutku semua doa-doa terkumpul untuk membentuk uap—membumbung menuju langit bersama dengan lantunan yasin banyak orang untuk kepergian sang ayah.

***

Tenang,,,

Aku mencoba tenang di depan pintu kamar kosku yang tidak bisa terbuka meski sudah kucoba puluhan kali. Kuncinya seperti tidak cocok padahal itu satu-satunya kunci yang Bu Ros beri dari hari pertama menyewa kamar ini. Udaranya masih dingin di jam dua belas siang namun syukurnya hujan tidak turun jadi aku bisa pulang tanpa kebasahan.

Aku menengok ke kamar sebelah yang di bawah pintunya penuh dengan sandal anak kecil. Sepertinya Esa sedang ada kelas.

"Noumi," panggil seseorang yang berdiri tepat di belakangku dengan nada datar. Aku terkejut.

***

"Ini kunci barumu," katanya sembari menyodorkan benda kecil itu di atas meja. Aku bingung. Duduk tercenung di ruang tamunya sambil mengamati secangkir teh hangat yang uapnya nyaris menghilang di hadapanku. Baru pertama kali aku diundang ke Rumah Bu Ros yang ternyata cukup nyaman karena interiornya kebanyakan terbuat dari kayu dan bau-bau-an aromaterapi.

Jujur, sebenarnya aku kepikiran macam-macam tentang Bu Ros yang mungkin diam-diam mengunci pintuku untuk bermaksud mengusir karena ia aslinya adalah orang yang sangat keras dan tidak memberi kelonggaran sedikit pun bagi yang terlambat membayar. Kemarin ia mengunci kamar Leon, tetangga kamar nomor lima saat tengah kuliah lantaran terlambat membayar sewa hanya satu bulan, lho. Jadi tentu aku sudah terpikirkan hal yang sama karena aku bahkan sudah terlambat dua bulan sebelum diberi kunci baru dan teh ini. Aneh. Ini nampak aneh.

"Kamu belum lunasi kamar selama dua bulan, kan?"

Tengkukku terasa menegang ketika mendadak masuk ke dalam mode serius. Aku bahkan menaruh cangkir teh itu kembali. Menggenggam jari-jemari dengan gugup.

"Ah, iya bu. Saya sedang berusaha mencari pekerjaan supaya bisa lunasi sewa kamar saya untuk bulan ini dulu."

Bu Ros melipat kakinya yang ramping. Tersenyum miring kepadaku. Bahkan tak berselang lama menyunggingkan tawa. Rambutnya yang tertata dengan mekar bergerak-gerak mengikuti gerakan pundaknya.

"Nggak perlu. Uang sewamu bahkan sudah dilunasi untuk delapan bulan ke depan oleh—"

"Hah?!" Aku terkejut bukan main bahkan saat Bu Ros masih belum menyelesaikan perkataannya. "Memangnya siapa yang melunasi sewa kamar saya, bu?"

Bu Ros memicingkan mata. "Pacarmu. Esa. Kamu benar-benar beruntung dapat pacar banyak duit. Dia kerja apa, sih?"

Jantungku berhenti. Benar-benar berhenti untuk beberapa detik sebelum akhirnya mencoba menarik napas dalam-dalam untuk menyadarkan diri. Bu Ros masih sibuk dengan opininya sendiri.

"Saya nggak menyalahkan kalian berpacaran atau melarang saling mengunjungi kamar. Malah kalau pacaran diam-diam itu yang sebenarnya tidak baik. Tapi saya mohon banget sama kamu, Noumi Roula. Kamu bisa kan selama tinggal berdampingan dengan pacarmu, kalian tetap menjalani hubungan yang sehat?"

"Iya?"

"Ah, saya hanya mengingatkan saja karena ada beberapa berita miring yang menyatakan kalau kamu itu disangka hamil karena sering mengunjungi kamar Esa." Bu Ros menyemburkan tawa kecil sambil menggeleng-geleng tak percaya, sedangkan aku tercengang.

"Sa-saya... hamil?"

Beliau mengangguk membenarkan pendengaranku sebelum mengubah mimik mukanya.

"Dengar ini, Roula."

Bu Ros duduk mendekat dengan hati-hati untuk memberitahukanku sesuatu yang bahkan jika berbicara biasa pun sebenarnya para tetangga mustahil mendengar.

"Di sini banyak mata dan mulut yang kerjaannya mengurusi hidup orang lain, jadi sangat wajar kalau kamu diomongin begitu. Namun selain dari omongan orang lain, saya juga tidak ingin hal itu terjadi dari awal saya memutuskan kosan ini bisa ditinggali putra dan putri. Entah berita ini benar atau tidak, semuanya saya serahkan kembali ke kamu. Kamu, bisa kan menjaga diri?"

Aku tergugu karena masih mencoba mencerna semuanya dengan pikiran sadar, namun Bu Ros lagi-lagi menambahkan omongan yang membuatku sukses kehilangan logika.

"Katanya, Esa itu orang yang berbahaya. Kamu harus hati-hati."

***

Dream First ClassTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang