02. Anak kecil yang selalu menangis

90 16 26
                                    

02.40 wita.

27 Desember 2020

Sudah biasa. Aku sudah terbiasa bangun begitu pagi dengan cara yang aneh: membuka mataku begitu saja dengan kesadaran penuh. Belakangan ini, ada banyak sekali hal yang mulai kupikirkan sampai aku tidak menyadari aktivitas apapun yang kulakukan jadi terganggu. Tidurku sangat larut, tapi terbangun pun terlalu pagi. Mimpi-mimpiku kebanyakan mimpi buruk. Mulai dari dikejar-kejar Dinosaurus, hantu yang melambaikan tangan kepadaku, orang yang tak dikenal, bencana alam atau bahkan seputar obrolan orang-orang kantoran. Barusan tadi mimpi yang cukup buruk, sampai-sampai aku takut untuk kembali tidur.

Rasa-rasanya aku sudah mulai bosan. Setiap hari, aku seperti hanya pergi bekerja dan melakukan pekerjaan rumah dengan setengah hati. Tidak ada semangat untuk mengangkat kaki agar mau pergi ke mana-mana. Duduk di ranjang, aku hanya melamun. Mencoba berbaring dan mematikan lampu. Pikiran tidak bagus lagi-lagi bertamu. Memberiku kaset tentang memori masa lalu bersama lagu-lagunya yang begitu menyedihkan. Aku ingat, sebuah keluarga yang lengkap tapi tidak utuh. Aku ingat, masa kecil yang penuh rasa khawatir jika kedua orang tuaku tidak ada di rumah. Bukan rumah kami, maksudku rumah nenekku yang dihuni oleh dua kepala keluarga. Di rumah semua orang yang menjadi satu tersebut, adik-kakak yang sudah dewasa itu, yang sudah memiliki suami atau istri mereka dan memiliki anak-anak mereka, termasuk aku, mereka tidak kenal kata akur sama sekali. Membuatku menangis.

Tiap kali mengingat tangisan itu, aku jadi ikut menangis. Aku menemukan kembali diriku dimasa kecil yang berusaha bersembunyi dibalik selimut saat situasi terasa mulai panas. Aku menjadi ketakutan setengah mati ketika mendengar kata ancaman bahwa Ayahku akan dibunuh jika berani menginjakkan kaki di rumah itu lagi. Sosok diriku dengan kedua bola mata yang nampak gemetar, tidak pernah mengerti tentang jalan pikiran orang dewasa. Aku saja yang masih kecil sangat takut jika membunuh orang lain. Tapi orang dewasa sangat berbeda.


Orang dewasa cenderung lebih banyak melakukan kekerasan entah untuk berbagai alasan. Jika tidak menggunakan kaki atau tangan, biasanya mereka menggunakan mulut. Ketiganya menghasilkan luka yang sama dengan rasa sakit yang berbeda. yang kutahu, anak-anak yang sering dipukul secara fisik tumbuh menjadi berandal bermental pecundang. Kalau anak-anak yang sering mendengar gunjingan dan kritikan kasar, biasanya tumbuh menjadi seseorang yang tidak kenal etika dan sopan santun. Kalau anak yang menerima tindak kekerasan keduanya, maka ia akan tumbuh menjadi seseorang yang pemalu, minder, anti sosial, mudah tersinggung, sangat tertutup dan enggan berekspresi. Lalu, untuk sepanjang hidupnya, ia selalu menyalahkan dirinya sendiri, menuntut kesempurnaan yang hanya diciptakan oleh mulut orang lain atau merasa tidak pernah nyaman jika berada di dekat orang-orang di sekitarnya. Khawatirnya lebih-lebih tidak masuk akal lagi, seperti: khawatir akan tidak disukai oleh orang lain atau tidak mau mendengar candaan orang lain yang berpotensi menyakiti hatinya sendiri. Ini hanya menurutku. Sebab kurasa, aku masuk kategori terakhir,yaitu anak yang mengidap penyakit, 'bermental lemah'.

Sejak kecil, kupikir aku akan terbiasa. Namun nyatanya ini menjadi lebih parah. Kebiasaan tidak nyaman itu terbawa dan tanpa sengaja membentuk kepribadianku. Aku jadi anak pendiam. Di sekolah dasar aku sempat jadi korban Bullying dan entah kenapa aku tidak pernah punya keberanian untuk melawan meski aku ingin. Tubuh gemuk dan kulit hitam itu seolah sebuah kesalahan. Aku tidak pernah membenci orang lain tapi aku pendendam yang handal. Aku tidak ekspresif seperti anak perempuan seusiaku. Aku lebih terbiasa berbicara sendiri dan memperhatikan sekitarku tanpa gerakan yang mencurigakan. Aku suka segala hal yang baru tapi tidak dengan manusia. Bertemu orang baru, berteman, itu tidak pernah ada di kamusku. Aku jadi orang yang begitu dingin jika terlihat sekilas. Cara bicaraku begitu hati-hati agar tidak menyakiti orang lain, namun anehnya aku mudah sekali sakit hati dengan cibiran orang. Sedikit saja kesalahan maka aku akan mencambuk diriku berkali-kali. Sedih berlarut-larut dan melamun setiap malam. Tapi sesekali, saat aku sudah begitu lelah mempertanyakan jutaan rahasia yang disimpan alam semesta, aku hanya akan melihat langit-langit kamarku dengan tatapan kosong. Entah kenapa terkadang mereka terasa begitu gemerlap. Mengalahkan aslinya yang menggantung di luar sana.

Di malam yang begitu sesak, sepoi-sepoi angin membawa anganku pergi bersamanya. Bagaimana jika seandainya aku memiliki bintangku sendiri? oh! atau bagaimana kalau aku yang menjadi seperti bintang? Memiliki cahaya yang begitu bersinar di angkasa? Ah, tapi, saat kenyataan menebas tengkukku dengan bongkahan es raksasa, aku jadi tersadar tengah melamun lagi. Bintang-bintang itu telah menghilang.


Di luar, langit hitam yang terasa semakin larut menemaniku menangis. Tidak ada yang tahu dan tidak ada yang bisa menghentikannya. Tidak ada yang mendengar dan tidak ada yang ingin mendengarkan. Semua orang hanya sibuk bercerita tentang diri mereka sendiri dan menyisakanku untuk menjadi pendengarnya. Egois sekali, semua orang yang berjenis 'manusia,' memang terlahir dengan bakat egois yang paling kuat dimuka bumi ini. Bibirnya bisa berkata yang seolah dapat membuatnya terlihat baik, namun perilakunya sering kali melenceng. Para bibir itu lebih gemar berkata tentang kebaikan dibanding berbuat tentang kebaikan.

Ah, sakit sekali. Kalau kupikir-pikir aku jadi sakit hati sendiri. Entah ini sudah ke-berapa milyar kalinya aku menggunakannya untuk merasakan sakit yang seperti ini. Yang rela menikam dada sendiri secara berkala untuk merasakan sakit yang paling tidak masuk akal. Hhh, tersenyum pahit. Aku membenci diriku. Aku tidak mengerti. Kapan aku bisa menemukan kebahagiaanku dan berhenti berpikir terlalu panjang begini? Jawaban yang datang hanya angin. Percuma. Semua hal yang sering kutanyakan tidak pernah ada jawabannya. Semua itu hanya berputar-putar di atas kepala hanya untuk kembali. Tidak ada jawaban.

Aku menengok jendela dan angin masih berhembus kencang di sana. Beberapa pintu tetangga terdengar terhempas keras seperti lupa diganjal. Berdiri lalu berjalan ke ambang jendela, aku merasakan dingin anginnya membuat tubuhku menggigil. Karena tidak tahan, segera kututup rapat-rapat.

Ruangan yang sepi, hanya aku sendiri. Berbaring kembali untuk mencoba tidur-tidak bisa. Tidak dapat tidur hanya membuatku sakit kepala. Selama ini aku tidak pernah terpikirkan untuk minum obat tidur, tapi entah kenapa sekarang iya. Saat aku rasa diriku sudah tidak berguna lagi. Tidak akan ada masa depan lagi, aku ingin sekali menghabisi nyawa sendiri.

"Hei."

Terkesiap, aku menoleh mencari-cari, ada suara lembut yang berbisik ditelingaku.

"Noumi Roula yang baik hati. Tidak apa-apa. Kau bisa gunakan aku sebagai teman. Aku satu-satunya orang yang akan terus bersamamu, tidak peduli sesakit apapun itu. Kamu sudah melakukan yang terbaik, Roula. Kamu hebat."

Itu membuatku tersenyum. Sesaat dadaku mulai terasa longgar. Berpikir sejenak, sadar akan hal itu membuatku menangis haru. Gema suara itu bukanlah siapa-siapa, bukan khayalan atau ilusi pendengaran. Itu hanyalah separuh bagianku yang berbicara sendiri guna menghibur separuh bagiannya yang lain. Aku, orang yang pada akhirnya berkata semua akan baik-baik saja meski jiwa terasa tidak utuh lagi, kini menyibak selimut dan menyalakan lampu meja belajar.

Sekarang sudah pukul tiga pagi dan rasanya akan sulit untuk tertidur lagi. Pena yang kugenggam kini kugores-gores asal di atas kertas. Kubuat banyak coretan sampai tidak ada lagi ruang yang tersisa. Sejenak, aku berhenti karena melamun. Melamun menatap jauh ke luar jendela dari ventilasi udara. Cahaya rembulan yang membias, lautan lepas.

Di atas kapal yang bobotnya terlalu berat, aku menenggelamkan seluruh isinya ke dalam samudra untuk membiarkan badan kapalnya berlayar dengan ringan. Terombang-ambing ombak yang begitu dahsyat dan berlayar sepanjang malam, menyusuri samudra.

Dalam hidup ini, seperti sebuah kapal, aku juga ingin terus berlayar tanpa pernah tahu kapan akan berlabuh.


Dream First ClassTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang