“Sa, kita mau ke mana?”Ada anakan tangga kecil yang letaknya cukup tersembunyi dari ruang café. Esa mengajakku ke sana.
“Ke atas. Aku punya ruangan pribadi di atas.”Persis seperti halusinasiku yang tadi. Bedanya sekarang kami tidak pakai berkelahi. Sampai di atas, sempat gelap dan menyeramkan sebelum berubah menjadi terang dan layak huni hanya karena Esa menyalakan lampunya. Nuansa dekornya minimalis seperti ruang tengah yang hanya memiliki sofa putih: meja hitam di tengahnya yang sempat ditaruh makanan tadi oleh Esa dan sebuah TV yang menempel di dinding. Lantainya dibuat dari kayu mengkilap.
Di luar, setelah gordennya disingkap oleh Esa dan pintu yang terbuat dari kaca tersebut digeser olehnya, pemandangan kota terlihat lebih jelas di sana. Atap semen seluas sama dengan ruangan di dalam yang dibatasi pagar besi itu terlilit tangkai bunga mawar disepanjang relingnya. Tempat itu terbiasi cahaya bulan yang temaram juga kerlap-kerlip kota. Menghadap barat di mana hal itu bisa dijadikan moment pas untuk menangkap sunset.
“Wah, kamu punya tempat seperti ini juga ya ternyata.”
“Iya. Kamu suka?”
Aku yang tengah sibuk memperhatikan sekitar, langsung melihatnya untuk menaikan dagu dan alis. Tersenyum girang. “Hm. Suka banget.”
Ia jadi ikutan tersenyum sambil menggaruk tengkuknya. Melemparkan tangan ke udara.
“Kalau begitu sering-sering saja mampir ke sini. Kamu juga bisa bawa kanvas dan cat acrylic-mu kalau mau melukis senja.”
Mendadak sosoknya jadi terlihat berbeda dari dugaanku sebelumnya. Ia terlihat sangat baik sampai-sampai kebaikannya terasa tidak nyata. Seperti ada dua sayap putih dipunggungnya.
Aku menghirup aroma beku udara yang menusuk paru-paru. Menyipitkan kedua mata.
“Menurutmu, kamu orang yang dominan baik atau buruk?”
Esa terhenyak. “Hm? Kok tiba-tiba nanya begitu?”
“Ya …. penasaran saja.”
Aku memberikannya waktu untuk berpikir sebentar sebelum pertanyaan itu dilemparkan kembali padaku.
“Kalau menurutmu bagaimana? Aku orang yang dominan baik atau buruk?”
Angin yang begitu keras dan dingin menghempas surai kami. Menemani kami yang membeku dalam pilihan. Aku mengangkat bahu.
“Aku nggak bisa memastikan lebih dominan yang mana, tapi yang pasti, aku tuh orang yang selalu berusaha untuk membahagiakan orang terdekat. Jadi, terserah kamu mau nilainya bagaimana.”
Aku hanya manggut-manggut pelan sambil menggambar sesuatu menggunakan kakiku.
“Tapi, apa kamu punya orang terdekat meski sekarang kamu nggak punya orang tua dan keluarga?”
“Hm. Aku bisa menganggap siapapun sebagai keluargaku.”
“Oh, ya? Memang yang kamu anggap keluarga itu siapa saja?”
“Teman hiking, karyawan café, Richie, Anak-anak termasuk Oliv, kakek dan Neneknya Ajeng. Ibu Rita, dan hm …. Papanya Rico.”
“Ibu Rita itu siapa?”
“Ibunya Maurer. Oh iya aku belum sempat cerita sama kamu, ya? tadi, sebelum jemput kamu …. aku nelfon ke nomor kontak yang bisa dihubungi dalam CV-nya Maurer dan yang tertera itu ternyata nomor Ibunya. Aku sempat tanya-tanya dan mengobrol sebentar dengan beliau.”
Dalam pikiranku: wow, dia bisa secepat itu menerima orang baru ke dalam hidupnya.
“Ibunya Maurer bilang apa?”
KAMU SEDANG MEMBACA
Dream First Class
Mystery / ThrillerKita tidak cukup kompatibel untuk membuat anak-anak tumbuh dengan rasa aman dan nyaman. Selalu ada kejadian dimana anak-anak merasa trauma akan sesuatu dan akhirnya mereka akan tumbuh bersama itu. Bahkan anak yang tidak broken home sekalipun bisa sa...