Anak itu memiliki tatapan sedingin marmer. Ia mendorong rodanya ke depan. Bergulir pelan sampai menyentuh kaki Esa. Kami semua masih membeku di tempat. Melihatnya terdiam mendongak sambil melihat pria jangkung yang tak sekalipun bergeming dari tempatnya itu dengan rasa yang mati.
“A-a, Li-ci,” katanya. Meminta jawaban dari sang lawan yang tak dapat meresponnya dengan cepat selain terpaku mematung bagai kehilangan nyawa sendiri.“A-a, Li-ci,” katanya terus di hadapan Esa yang masih tercenung mengosongkan pikiran dan hati. Sementara aku menyuruh Rico mematikan game agar Tato berhenti meraba-raba udara dengan kedua stik tersebut di tangannya. Perhatian kami terfokus untuk Olin. Turut merasakan duka mendalam atas kepergian kakaknya.
Aku mengingat satu dua hari yang lalu tentang aktifitas yang tidak banyak ingin ia lakukan selain makan, tidur, dan minum obat. Jika pagi ia tak ingin merasakan matahari, maka ia hanya akan duduk di kursi rodanya sambil mengintip lewat jendela—membayangkan bagaimana rasa hangatnya sinar tersebut. Tak ada yang ingin ia katakan selain nama kakaknya. Sudah kuduga ini akan menjadi perasaan yang paling menyakitkan jika tidak ditangani dengan baik. Dan begitulah cara sebuah trauma tercipta untuk berjalan di sepanjang hidup seseorang.
“AA LICI!!!!!!”***
Malam itu aku tak ingin meninggalkan anak-anak dengan pulang ke kosan sendiri. Alasannya, satu: jelas karena takut Olin akan menjedukkan kepalanya ke tembok lagi. Kedua: takut Esa menyakiti diri sendiri hingga membuat anak-anak ketakutan. Akibatnya, ia mengeluarkan sebisa mungkin barang-barang tajam yang ada dalam kamarnya kemudian menelfon seseorang untuk memasangkan puzzle busa pada dinding Olin.
Aku melihatnya lemas. Meminum segelas air putih untuk menetralkan perasaannya.
“Sa,” panggilku ketika ia hendak berjalan ke arah kamarnya. Tertunduk lesu saat berbalik menghadapku.Aku menghela napas panjang. Kendati tadi ia tidak melakukan apapun untuk menenangkan Olin, namun hanya terdiam dipukuli sampai anak itu puas menangis dan tertidur saja, mampu membuatku menangis untuknya.
Ia mendengus. Tersenyum pelan saat menghampiriku. Berusaha menghibur saat air mataku masih mengalir tidak terbendung saat menyentuh kepalanya hati-hati. Ia dipukul beberapa kali dibagian kepala cukup keras saat berlutut hingga aku khawatir di dalamnya bisa terluka.“Kepala kamu sakit?” tanyaku meringis. Ia menggeleng.
“Nggak …. Udah aku nggak apa-apa. Jangan nangis gitu.”
“Kasihan kamu dipukulin.”
Esa membesarkan hati sambil berusaha memperlihatkan bagian dari dirinya yang baik-baik saja.
“Iya namanya sudah berbuat salah, mau bagaimana lagi?”
Air mataku jatuh lagi saat ia berkata begitu. Entah mengapa. Meski telah berusaha mengusap sendiri dengan susah payah, rasa pilu di hati karena melihatnya seperti tadi sungguh tak bisa terusap dalam benakku. Ia pun menarikku pelan kemudian memeluk dengan erat. Mungkin tersadar bahwa larangan dariku untuk bertemu dengan Olin itu benar. Bukan mengenai kepantasan ia menerima hukuman, tapi mengenai perasaan orang-orang disekelilingnya yang khawatir menyaksikannya. Aku bahkan tidak dikasih menghentikan anak itu mengamuk hingga aku berteriak menjerit. Esa hanya memejamkan mata kuat-kuat untuk menahan sakit dan sekarang ia malah mengelus-elus punggungku sambil menempelkan dagunya di pundakku. Memeluk dengan begitu erat.
“Maafin aku ….”
***
“Ini.”“Apa?”
“Tolong kunciin aku dari luar.”
“Kenapa?”
“Aku lagi ngerasa nggak fit dan pikiranku sedang kacau. Kalau kamu pegang kuncinya, setidaknya itu buat aku tenang. Kapanpun aku butuh sesuatu, aku bisa nelfon kamu buat minta izin boleh atau nggak. Sorry banget sekarang aku benar-benar nggak bisa berpikir waras. Aku takut berbuat sesuatu yang membahayakan kita semua.”
Padahal dengan dia memberikan aku kunci ini, ia sudah berpikir dengan cara yang paling waras yang bisa ia lakukan. “Tapi—”Ia menyergah dengan gelengan. Menempelkan jari telunjuknya pada bibirku. “Aku mohon. Tolong kali ini aja. Aku nggak bisa percaya sama diriku sendiri.”
Mendengarnya berkata seperti itu, membuatku cemas juga. Aku menelan saliva dengan keras saat kunci itu kugenggam erat. Berpikir setidaknya barang-barang tajam sudah ia keluarkan jadi kemungkinan untuk melukai dirinya kecil. Kamar Olin juga sudah dipasang pengaman yang membuat semua kemungkinan menjadi kecil.
“Oke. Tolong kamu juga jaga diri, ya. Tidur aja dan jangan bebani pikiranmu dengan apapun sampai besok pagi. Segera telfon aku kalau kamu ngerasain sesuatu. Udah minum obat, kan?” tanyaku memastikan. Ia langsung menganguk.
***
Aku terjaga sepanjang malam. Menengok keadaan anak-anak dan Esa di kamarnya masing-masing. Terbangun jika sedikit saja mendengar suara berisik. Begitu terus sampai langit menunjukkan pagi.***
Olin termenung. Terpaku melihat Esa menuangkan sebotol air pada makam kakaknya. Anak-anak dengan setelan serba hitam dengan serempak menaruh bunga krisan di samping batu lisan sebelum mulai mengikutiku berdoa.Tentu ada perasaan kecewa di banyak sisi hati yang terluka. Namun kami tidak lagi meributkan hal yang menggerogoti kepercayaan kami masing-masing tentang cara untuk tetap melakukan kebaikan.
Entah sihir apa yang Esa gunakan dalam bertutur kata kepada anak-anak. Mereka semua termasuk Ajeng dan Olin sudah mengikhlaskan apa yang terjadi. Tidak lagi memusingkan tentang akan menjadi apa hubungan mereka ke depan meski kenyataan pahit hari ini sangat tidak masuk akal untuk diterima.
Kehancuran sudah menghancurkan pemiliknya sampai kepingan terkecil. Tak ada lagi arah untuk berputar balik atau tenggelam dalam genangan tangis yang tak kunjung berhenti. Dosa telah terjadi dan pengampunannya akan ditebus berangsur-angsur selama hidup.Entah itu berupa penyakit atau kesialan bertubi-tubi—yang pasti hal itu akan menemukan jalannya sendiri untuk berakhir.
Lalu sore itu, puluhan gundukan hijau rumput yang berjajar rapi tanpa pengunjung tersebut, didatangkan angin untuk mendamaikan para pemilik raga yang jiwanya terisi kosong.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Dream First Class
Mystery / ThrillerKita tidak cukup kompatibel untuk membuat anak-anak tumbuh dengan rasa aman dan nyaman. Selalu ada kejadian dimana anak-anak merasa trauma akan sesuatu dan akhirnya mereka akan tumbuh bersama itu. Bahkan anak yang tidak broken home sekalipun bisa sa...