17. Yang disebut privasi

2 0 0
                                    


Aku yakin mungkin ada sedikitnya kebohongan yang ia katakan tadi sebab aku tak percaya. Jangan mudah dibohongi begitu Noumi. Jangan mudah berempati hanya karena ia mampu menggendong empat orang bocah dalam satu pelukan. Ia orang aneh, tapi tidak dapat dipungkiri aku terkagum juga saat melihat pundak lebarnya berjalan di depanku dengan dua anak menopang kepala di pundak sementara yang dua lagi di dadanya. Anak-anak punya firasat yang kuat jika berada dalam tangan penjahat. Bisa jadi Esa memang bukan orang jahat.

“Noumi,” panggilnya saat berdiri di depan mobil yang tadi kupesan lewat grab. Ia berusaha menengok dengan kuwalahan sementara aku bergegas membuka pintu mobil.

“Kamu masuk dulu,” katanya supaya bisa mengoper anak-anak kepangkuanku lagi. Nana sendiri dipelukanku sudah terbangun dari tidurnya dan mulai merasakan senja yang terlarut dalam gelap. Suhu AC mobil menyadarkannya.

“Hai, sayang,” sapaku sambil mengusap kepalanya dengan lembut kemudian mengecupnya. Aku selalu takut kalau membuatnya menangis. Tapi untungnya tidak untuk kali ini. Ia hanya berdiam manis dalam pangkuanku. Dua bocah—Tato dan Toto kembali menggeliat di atas pahaku sedangkan Ajeng sudah nyaman menyandarkan punggung dan kepala di badan kursi dekat jendela. Esa telah memasangkannya sabuk pengaman dan melingkari lehernya dengan jaket untuk menjadi bantalan. Aku ditugaskan untuk menjaganya ketat agar kepalanya tidak terantuk-antuk.

Rico meringkuk di depan. Bocah berpipi gembil itu menghangatkan diri dalam pangkuan Esa yang duduk di sebelah kemudi dan mobil pun mulai melaju setelah Esa meminta tolong pada supirnya agar mematikan AC.

Kulihat ia begitu menyayangi anak-anak. Entah sudah berapa kali Rico mendapat kecupan di pucuk kepala jika tidurnya terasa tidak nyaman atau tiba-tiba terbangun karena terlonjak akan jalanan yang anjlok. Esa bahkan membenarkan kalau lima bocah ini adalah anak kandungnya saat pak supir mulai bertanya-tanya dan terkejut. Tidak, tidak. Supir dan aku sama-sama terkejutnya.

“Oh, ya? kalian masih pasangan muda tapi sudah punya anak sebanyak ini?”

Esa tertawa lembut. “Iya.”

Menengokku sejenak sambil memasang senyum palsu di bibirnya. Merasa tidak enak jika seandainya pak supir mau tak mau jadi berpikir yang aneh-aneh tentangku. Seperti: sanggup mengeluarkan lima bayi dalam sekali enjan, mungkin?

“Bapak umur berapa kalau boleh tahu?” tanya pak supir padanya. Ia menengokku lagi, nampak mulai bingung. Aku mengangkat satu alis seolah ingin berkata: ‘lihat, memulai kebohongan kecil hanya akan mengumpulkan kebohongan besar lainnya.’

“Saya tiga puluh tujuh, istri saya tiga puluh tahun,” katanya. Bagus sekali. Rasa janggalku padanya semakin menjadi-jadi. Ia seperti penipu handal.

“Woah! saya pikir masih diawal dua puluhan. Kalian masih muda sekali kelihatannya.”

Reaksi pak supir cukup heboh sementara aku khawatirnya anak-anak terbangun jika terlalu berisik.

“Lalu diumur berapa kalian menikah kalau anak-anaknya sudah lumayan gede begini?”

Dugaanku tidak pernah meleset. Kuharap Esa tidak mencoba berbohong lagi sebelum kupotong pembicaraan mereka secara sarkasme. Tapi aku cukup terkejut saat ia berbalik dan bilang, “sayang, tolong ambilkan permen di kresek putih tadi.” Yang ternyata ingin menyumpal mulut pak supir ini dengan permen. Kami berusaha menelan rasa canggung saat bertatapan demi menunjukkan kerja sama tim yang solid. Aku pun tersenyum manis layaknya permen yang dimaksud.

“Di mana, sayang?”

***

Tidak kusangka Esa bisa bersikap lebih dingin dari siapapun saat orang lain mencoba mengorek privasinya hanya melalui obrolan ringan atau basa-basi. Supir mulai tutup mulut saat mengetahui yang ditanya tidak lagi tersenyum, mengangguk ramah atau sekadar membalas pertanyaan tentang mengapa tinggal di kos dengan anak sebanyak ini.

Pertanyaan itu adalah salah satu diantara sepuluh pertanyaan lain darinya yang menurutku paling tidak etis ditujukan kepada orang asing. Ditambah lagi dengan nada yang terdengar cukup mendiskriminasi.
Esa membuka pintu belakang dan memintaku mengulurkan Tato ke pelukannya. Ia menatapku serius.

“Aku bawa yang dua ini dulu masuk, kamu tunggu sebentar di sini, ya.”

“Iya,” jawabku sambil mengangguk sekali. Menunggunya sebentar sementara pak supir terlihat tengah mengalami ketegangan internal. Tak berselang lama Esa pun kembali dengan beberapa lembar uang ditangan. Mengikhlaskan kembalian yang lumayan banyak sebelum akhirnya pak Supir mulai mengambil inisiatif untuk mengangkat dua bocah lainnya ke dalam pelukan Esa. Tapi pemuda berkaki panjang itu bahkan langsung pergi begitu saja alih-alih mengucapkan terima kasih sebagai tanda bersyukur telah dibantu, sampai membuat orang lain seolah terampas jiwanya beberapa saat. Melihat itu, aku pun memutuskan turun dari mobil dengan memasang senyuman paling ramah semampuku.

“Terima kasih, pak,” kataku sambil berusaha menunduk dengan Nana yang masih menempel di dada. Mata pak supir pun langsung berkaca-kaca.

“Saya yang berterima kasih, Bu. Maaf kalau ada salah-salah kata.”

Ah, detik itu juga aku paham kalau beliau tersadar telah berbuat kesalahan. Tidak seharusnya ia mewajibkan dirinya tahu alasan dibalik mengapa hidup seorang penumpangnya tidak sesuai dengan laju idealis ekspetasinya. Ia tidak seharusnya menaruh diri sebagai peran penting dalam perancangan nasib seseorang hingga merasa tepat untuk menentukan mana jalan yang benar dan mana yang salah, tanpa berpikir bahwa hakikat manusia dilahirkan dengan segala perbedaan yang sudah melekat dalam darah dagingnya.

Orang-orang garis keras yang ingin mendandani atau mengelompokkan individualisme dengan tujuan agar mereka serupa, menurutku itu hanyalah kesia-siaan. Dunia hanya akan menjadi kacau dan runyam.
Intinya, mari kita hidup tenang dengan tidak mengurusi hidup orang lain.


***

Dream First ClassTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang