07. Dislokasi

49 3 8
                                    


Sore hari, berdiri tepat di depan Café Larasa dengan selembar CV yang dibungkus amplop coklat bertali, aku mengumpulkan energi untuk menjadi berani. Tidak sulit. Hanya tinggal masuk dan berikan ini kepada Managernya, oke? oke!

Kakiku melangkah dengan gesit. Aroma roti yang baru keluar dari panggangan menguar diudara tepat saat membuka pintu kacanya. Memicingkan mata guna melihat menu di atas dinding kasir dari kejauhan, aku meraba kantong celana Blackhawk yang kukenakan untuk memastikan beberapa lembar rupiah yang terselip di sana. Aman.

"Selamat sore, selamat datang di Larasa. Mau pesan apa?"

Ah, sapaan yang klasik. Kukira akan lebih bervariasi. Tapi, terlepas dari itu, aku jadi bingung ples gerogi karena kasirnya laki-laki. Tampan lagi. Berbicara dengan pemuda mode Korean style dengan surai kecoklatan juga mata sipit idaman ciwi-ciwi k-popers begini, suka bikin jantung jadi cenat-cenut nggak karuan. Ini tidak bagus.

"Ah, satu Espresso Caramel Macchiato, dan... Toast bread cheese-nya, ya, satu."

Ia tersenyum, matanya menghilang. Sekuat mungkin kutahan diri untuk tidak tertawa. Orang ini imut sekali ya ampun.

"Tujuh puluh satu ribu rupiah," ucapnya pelan. Aku merogoh kantong dan memberikannya seratus ribu rupiah. Sementara ia tengah menyiapkan kembalian, aku melirik sekitar, mulai melancarkan modus lamaran.

"Mas, kira-kira, café ini sudah buka berapa lama, ya?"

Ia terkejut. Terlihat seolah baru pertama kali ada yang bertanya begini sementara aku bersikukuh memasang tampang tak berdosa layaknya Wisatawan Asing yang bertanya di mana restorant terdekat. Ia buru-buru menjawab tak lupa dengan seulas senyuman.

"Baru-baru, kok, Mbak. Belum genap setahun."

Aku mengangguk. Menangkap objek yang tak jauh di belakangnya-dua buah mesin kopi besar dan satu karyawan perempuan sebagai Barista, dan dia sendiri. Kepercayaan diriku jadi naik seratus persen untuk bertanya lagi.

"Maaf bertanya lagi. Di sini, lagi butuh karyawan, nggak, Mas?"

Ia menghentikan gerakan. Sejenak melirik amplop coklat yang kupegang dengan tatapan sinis. Kemudian sambil menyodorkan kembalian ia membalas, "tidak ada, Mbak," sebagai bentuk akhiran sesi tanya-menanyaku hari ini.

Aku melengung. Mencengkram amplop coklat itu kuat-kuat sambil mengambil kembalianku. Malu telah datang disaat yang tidak tepat. Aku tidak boleh berbalik badan dan meninggalkan tempat ini begitu saja. setidaknya dapatkan jawaban yang jelas dari pertanyaanmu sendiri adalah tindakan yang tepat. Kesampingkan rasa malu. Malu hanya melatihmu untuk menjadi gembel permanen. Orang di depanku ini, kendati ia tampan tapi tak lantas dapat mengubahku menjadi buruk rupa. Tidak ada pengaruhnya. Bicara saja. Hajar.

"Saya mau melamar di sini, Mas. Ada posisi kosong?"

Kubuat ia tercengang. Biar saja. Lagipula, apa alasannya ia bisa seenak jidat berkata kalau tidak butuh karyawan disaat jelas-jelas tengah kekurangan tenaga kerja begini? Ia menghela napas seperti orang kelelahan. Payah. Baru ku-gas sekali sudah sesak napas rupanya.

Dream First ClassTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang