23. Rumah

2 0 0
                                    


Entah untuk mengalihkan topik atau sejenisnya, ajakan menikah dari yang kemarin-kemarin itu sudah mulai mengusik ketenanganku dimenit-menit terakhir. Saat ini kami sedang bermain dengan anak-anak. Esa menyiapkan satu kursi di tengah ruangannya. Mempersilahkan siapapun yang bersedia duduk di sana untuk menceritakan apapun yang mereka inginkan.

Puzzle, Blok, rubik, buku teka-teki silang, dadu, bola karet, dan berbagai macam mainan lainnya yang sempat kami beli tadi disimpan oleh Esa sejenak. Tujuannya demi fokus kepada acara berikutnya.

“Tes.”

Itu suara Ajeng. Ia sudah duduk duluan di bangku tersebut. Membuat kami terkejut. Esa langsung menjalin kontak mata dengannya secara intens.

“Kamu yakin?”

“Yakin.”

Kira-kira, begitu dialognya.
“Oke, Ajeng. Apa yang kamu ingin ceritakan?”

Ajeng menggeleng. Menatap ke sana ke mari sebelum menunjukkan senyum lebar kepada kami. Membuat penonton kebingungan.

“Aku mau nyanyi,” cetusnya enteng. Khas bocil.

Judul acaranya pun berubah menjadi aksi suka-suka. Esa tersenyum sambil melihatku. Entah untuk apa. Lalu mengangguk kepada Ajeng.

“Oke, boleh banget. Semuanya …. diam dulu, ya. sekarang kita akan mendengarkan kak Ajeng bernyanyi.”

Ia mengangkat Nana ke pangkuan kemudian kedua alisnya naik untuk menunjuk sang diva cilik. “Nona sudah siap?” tanyanya, kemudian tersentak. “Tapi ngomong-ngomong, mau nyanyi lagu apa, nih?”

Ajeng jadi bingung, namun ia berpikir sambil bergumam “Hm,” begitu.

“Nyanyi lagunya BTS?”

Sudah kuduga. Tapi tak lama ia langsung berubah pikiran.

“Oh, nggak jadi! nggak jadi!”
sergahnya dengan tangan mungil dan ekspresi seimut kelinci.

“Kenapa?” tanya Esa.

“Aku mau nyanyi laguku aja.”

“Lagu kamu? Kamu punya lagu sendiri?” Ajeng tentu saja mengangguk, memancarkan gelombang gamang kepada salah satu juri.

“Memangnya sudah pernah rekaman?”

Ya ampun. Aku tersedak tawa kecil. Menganggap tanggapan pemuda ini konyol sekali.

“Heh,” cubitku sedikit dilengannya. Ia terlonjak, terkejut.

“Maksudnya itu, dia mau nyanyi sesukanya dia.”

“O …. begitu,” jawabnya sambil mengusap-usap rasa perih bekas kucubit barusan. Kemudian tertawa.

“Maaf kurang peka. Eh, ayo, ayo! silahkan!”

Ajeng mengepalkan kedua tangan untuk dijadikan microphone-nya. Menggoyangkan bahu ke kanan dan ke kiri untuk menghitung ketukan lagu tanpa musik tersebut.

“Bulan bintang, di langit yang biru ….”

Itu tidak salah lirik, kan?

“Amat banyak, menghias angkasa …. aku ingin …. terbang dan menari …. jauh tinggi ke tempat kau berada.”
Kami semua menepuk tangan sambil menggerakkan tubuh ke kanan dan kiri, mengikuti alunan lagu yang Ajeng nyanyikan. Tapi tak disangka lagunya berakhir begitu saja.

“Eh, sudah selesai?” tanya Esa, terkejut. Ajeng pun masih mengangguk dengan ekspresi konsisten.

“Lagu ini buat Ayah dan Ibu Ajeng.”

“Oh, begitu. Tapi, apa lagunya tidak salah lirik sayang?” tanyaku kali ini.
Ia menggeleng.

Dream First ClassTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang