60. Jodoh

0 0 0
                                    


Bapak ada siapa aja nih, di rumah?” tanya Esa sesudah mencium tangannya. Aku secara otomatis juga melakukan hal tersebut sambil senyam-senyum canggung.

“Istri sama anak saya, si Soleh.” Pak Imron langsung membalik muka seratus delapan puluh derajat. Mengumpulkan semua energi di dalam mulut sebelum menyemburkannya keras-keras ke dalam rumah.

“BUK! ADA TAMU INI, BUK! LEH! KELUAR LEH!” Teriaknya semangat. Kemudian berbalik lagi. “Ayo! Ayo! mari masuk dulu.”

Soleh sang anak tiba-tiba keluar dengan tergupuh-gupuh. Sontak Esa langsung mengajaknya untuk mengambil TV di mobil.

“Nah, ini! Ayo bro, bantu aku ambil TV kamu di mobil. Siapa lagi temannya?”

“Sendiri.”

“Oke, deh. Ayo kita let’s go!”
Si Soleh meski dengan alis yang terangkat riang, tak bisa memungkiri kebingungannya setengah mati. Ia tanpa mengerti kondisi langsung saja mengiyakan permintaan Esa yang sok akrab merangkulnya—mengajak keluar secara paksa. Cara menyapa laki-laki ini memang agak bar-bar. Maklumi saja. 

Aku terdiam bingung seperti Soleh tadi setelah ditinggal keduanya. Merasakan udara canggung yang tak tertolong sebelum akhirnya Pak Imron dengan sigap mempersilahkan masuk.

“Silahkan, Non. Masuk dulu.”

Semua ini begitu mendadak. Namun nyonya Rumah muncul setelah aku masuk ke dalam ruang tamu.

Menyapaku penuh kejut sambil sibuk merapikan jilbab pasang yang agak melencong ke kiri.

“Halo.”

“Assalamualaikum buk,” kataku langsung berdiri menyalimnya. Umur beliau kiranya sekitar 5 tahun di bawah orang tuaku jadi tak masalah mencium tangan pikirku.

“Walaikumsalam. Sama siapa ke sini?”

“Sama—”

“Sama suaminya! Ini, anu …. orang yang tadi bilang mau kasih TV itu, lho. Mereka mau pindahan ke luar negeri, buk.”

“Oh MasyaAllah!” Nyonya rumah terkejut. Sama terkejutnya denganku setelah mendengar pernyataan dadakan dari Pak Imron. Tungkai kakiku mendadak terasa lemas selagi Ibu Negara dalam rumah tangga Pak Imron tersebut memegang kedua tanganku dengan begitu hikmat.

“Saya Bu Ramlah. Istrinya Pak Imron. Tadi sudah diceritain Bapak kalau mau ambil TV ke sana. Tapi malah ke sini sendiri, ya.”

Aku mendengus agak resah namun tetap tersenyum lebar. “Ya …. mau lihat-lihat juga sekalian.”

“Baru menikah? Mau pindah ke luar negeri di mana, sayang?”

“Hm?! Hm—”

“Itu, anu …. apa, sih, namanya,” cela Pak Imron lagi. Membuat pupil mata melebar dan asam lambungku naik. Telunjuknya mengayun-ayun di udara sambil menatapku penuh penuntutan. “Nama pohon! singgepur!”

“Singapur,” kataku memperbaiki. Pak Imron langsung mengangguk heboh.

“Iyah itu Singapur! Duh, saya ingatnya pohon singgepur.”

“Iya. Hehe.”

Baru kali ini aku menimpali perkataan orang lain dengan ketawa hehe. Biasanya tidak pernah begini. Ada apa dengan diriku?
Baik. Sepertinya reaksiku agak berlebihan. Tidak. Esa yang berlebihan. Bagaimana bisa dia tidak mengatakan apapun kepadaku untuk berkoordinasi? Untung saja Pak Imron suka menjawab pertanyaan milik orang lain. Bisa tertolong sedikit mukaku di sini.  

***

Esa kembali. Yang tadinya pergi bersama satu bocah, ketika balik ke sini, malah menjadi dua bocah yang mengangkut TV tersebut hingga mendarat di atas meja taplak berwarna putih bermotif bunga-bunga. Kuduga yang satunya adalah temannya Soleh karena sehabis bergotong-royong, mereka bersalaman tangguh, layaknya seorang teman. 

“Soleh benar-benar anak Soleh. Rezekinya anak Soleh, sayang. Dapet TV,” kata Esa memperagakan kekagumannya di hadapan kami semua. Aku mengangkat alis dan merespon secukupnya agar ia tidak malu. Tapi sebenarnya dia tidak pernah malu. Aku yang malu melihatnya begitu.

“Aku mau duduk sayang,” katanya memintaku bergeser ke kanan agar posisinya bisa lebih dekat dengan Pak Imron. Mereka pun mulai mengobrol setelah Bu Ramlah menyajikan teh untuk kami berdua. Mengobrol dari awal hingga akhir yang membuat semuanya jadi terpaksa duduk untuk mendengarkannya bercerita dan membuka sesi tanya jawab kilat.
Soleh kelas berapa? Pak Imron kerja di mana? Bu Ramlah sudah berapa lama buka tempat jahit? Usia rumahnya sudah berapa tahun? Mereka semua aslinya orang mana? Silsilah keluarga mereka dan semua-semuanya, ia tanyakan. Memang, deh. Banyak sekali bahan yang ia punya untuk diperbincangkan—sampai-sampai tanpa sadar melatihku juga untuk cepat berbaur dengan orang lain.

“Oh! jadi ini ceritanya teman SMP dulu? Baru tahu teman rumah setelah itu, ya? Keren ….!” Aku mengangkat kedua jempol untuk Pak Imron. Esa melihatku dengan tatapan heran. “Memang benar jodoh itu nggak akan ke mana, Pak. Betul itu.”

“Iya. Alhamdulillah. Mangkanya saya suka nasihati Ibunya ini kalau lagi marah-marah. Ingat. Kita ini sudah kenal lama. Belum tentu ada orang yang bisa mempertahankan hubungan selama kita.”

Bu Ramlah mengangguk pasrah sedangkan dihatinya mungkin berucap: Tunggu saja nanti dua orang ini pulang.

“Sudah berapa tahun jadinya ini?”

“Masuk 40 tahunan lah kalau ndk salah.”

“Wah masih umur 10 tahun berarti udah saling kenal ya.”

“Iya mungkin sekitaran segitu. Kalau Nak sendiri bagaimana? Di mana kalian ketemu dulu?”

Ditanya begitu entah mengapa membuatku terdiam. Jari-jari sontak mengetuk-ngetuk permukaan meja. Melirik sang patner yang dengan sengaja langsung menyeruput tehnya. Ia mengendikan bahu seperti ingin lepas tanggung jawab sedangkan aku hanya bergeming.

“Di café,” kata Esa akhirnya. Ia menengokku lalu menatap dengan santai.

“Waktu itu dia jatuh terus kakinya dislokasi. Saya antar ke tukang urut, Pak. Saya antar pulang juga. Eh, ternyata satu kosan sama saya.”

“Nah! Jodoh itu!” pungkas Pak Imron atas kesamaan mereka. Esa langsung mengangguk mantap.

“Mangkanya menikah, Pak!”

Buahahahah

Mereka tertawa sampai menepuk dengkul bagaikan teman akrab sedangkan aku dan Bu Ramlah hanya saling menatap sambil berkedip dalam diam.

***

Dream First ClassTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang