Deburan ombak pantai samar-samar terdengar berdesir dari dalam kamar. Di luar, dapat terlihat cerminan bulan menerangi laut hitam. Angin menderu-deru menembus sela jaring-jaring kelambu yang dipasang melindungi ranjang sementara aku bergerak dalam satu dekapan hangat. Esa menaikan selimut.
“Gimana caranya kamu bisa sampai di sini, Sa?”
Ia yang sepertinya melamun, terlonjak. Mengendurkan pelukan demi melihatku sejenak.
“Apa alasannya karena cinta?” tanyaku pelan. Matanya yang tajam berkedip. Lamat-lamat mengangguk dengan memanyunkan mulut.
“Kok kamu bisa cinta sama aku? Kenapa?” tanyaku lagi. Ia nampaknya tak ingin membahas apapun namun terpaksa harus menjawab.
“Memangnya siapa lagi yang bisa aku cintai selain kamu? Pak Januar?”
Membuatku jadi ingin tertawa. Aku tahu betul yang dimaksud bukan begitu. Hanya saja ia tidak ingin membawa suasananya menjadi keruh. Aku menghela napas panjang sesekali lalu menatapnya berbinar-binar.
“Makasih, ya. Lain kali akan kubalas. Sepuluh kali lipat.”
Dari rautnya ia tampak tidak senang. Dan benar saja. Ia meraih keningku untuk ditempelkan pada dadanya sebelum mendengus lirih.
“Tidak perlu,” ujarnya, bersungut-sungut. “Aku bisa lakukan sendiri, tanpa pamrih.”
Mendengar itu, aku merasa tersindir. Mungkin ia melihatku seperti mendefinisikan cinta sebagai hubungan timbal-balik yang saling menguntungkan. Sementara yang ia tahu tentang hal tersebut hanyalah memberi. Memberikan segalanya yang ia miliki. Tapi ia berusaha mengkonfirmasi perkataannya sendiri dengan lebih rasional.
“Aku pernah baca suatu buku. Katanya, kebanyakan orang selalu menaruh ekspetasi tinggi kepada seseorang yang mereka cintai, sehingga mereka rentan mengalami kekecewaan. Mungkin aku juga melakukan hal yang sama sampai-sampai nggak sadar malah buat kamu tertekan, takut, nggak siap, cemas, atau bahkan mungkin nggak merasa cinta sama aku.”
Telingaku mendengarnya yang berbicara dengan hati-hati sementara tangannya menepuk-nepuk punggungku, pelan.
“Aku cinta, kok, sama kamu,” kataku berusaha meyakinkannya. Namun ia menggeleng.
“Nggak apa-apa. Nggak perlu terburu-buru. Kamu benar, kok, tentang semuanya harus dipikirkan baik-baik. Tentang kesiapan mental dan materi. Karena selain alasan dari kamu tadi pagi, dariku sendiri juga ragu apakah aku sudah benar atau belum dalam mencintai kamu. Apa aku layak jadi suami kamu, dan lain-lain. Aku jadi banyak introspeksi diri.”
“Kamu sudah punya semuanya, Sa. Kamu bisa mendapatkan segalanya yang kamu mau.”
“Oh, ya? Terus kenapa aku nggak bisa dapetin kamu?”
Ia menyatukan alisnya dengan tegas. Ingin meminta jawaban dariku.
“Segala-galanya buat aku itu kamu, tahu,” jelasnya, lagi. Membuatku sedikit takut, meski aku suka.
“Hei. Kamu nggak lagi mabuk kan, ngomong begini?” tanyaku.
Ia menatapku lagi-lagi sambil mengusap pipiku. Menghapus jarak untuk lebih dekat beberapa senti.
“Dengar. Dengarkan ini baik-baik. Kamu itu cantik. Dari ujung kepala sampai ujung kaki. Senyum kamu manis. Alis kamu bagus. Hidung kamu mungil. Kulit kamu eksotis. Dagumu lancip. Garis wajahmu simetris. Bibirmu … kadang buat aku berpikir gimana caranya bisa merasakan itu. Secara personality kamu matang. Kamu orang yang care meski dengan ucapan yang ketus. Kamu merawat anak-anak sekuat tenaga dan energimu walau demi menebus uang kosan. Kamu merapikan rumahku, merawat tanaman, membuatkan makanan, memberiku vitamin, mengingatkan aku untuk cukup tidur, bahkan memilihkan kaos kaki yang cocok untuk kakiku. Dari awal kamu memang tipe orang yang berpikir keras untuk menjadi pribadi yang baik dan kamu berhasil melakukan itu. Aku bingung di mana letak kekurangan yang selama ini kamu rasain?”Aku membeku. Merasa takjub pada pengakuannya.
“Bukan hanya itu. Sebenarnya, kamu buat aku jadi berani beli rumah, tahu. Return dari investasi sahamku, berani kupakai untuk membuat taman bermain dan segala macam fasilitas anak-anak. Bahkan karena kamu, aku jadi berani punya mimpi. Aku berani buat bahagia.”
Esa menelan salivanya sesekali. Ia melirik bibirku sebelum kembali menatap dengan jengah.
“Tuh, sebegitu pentingnya kamu buat aku. Mau apa lagi? Merasa terbebani? Silahkan! silahkan bayar itu semua sekuat tenaga kamu. Kalau alasannya karena kamu sakit, aku juga sakit!”
Aku langsung mengecup bibirnya. Membuatnya terbelalak. Bola matanya bergetar sebab tak mempercayai apa yang baru saja terjadi sampai-sampai membuatnya menyibakan selimut lalu terduduk. Aku terdiam melihatnya terdiam beberapa detik dengan riuh redam hembusan napas hingga aku turut membangunkan diri. Bertatapan dengannya sekali lagi untuk kali ini mengecup bagian kening.Setelahnya aku membuka mata lalu melihatnya sedikit menganga karena terkejut. Terlihat menggemaskan.
“H-h, a… anu.” Ia jadi grogi.
“Apa aku boleh cicil hutangku dengan cara ini?” tanyaku dengan berani. Sempat tersadar kalau selama ini aku tak pernah lebih dulu melakukan kontak fisik dengannya. Mungkin akulah orang yang tidak pernah mengerti cara untuk menerima cinta dari si ‘bodoh’ ini.
“Apa aku boleh cium kamu lebih lama lagi?” tanyanya penasaran. Aku lamat-lamat mengangguk dengan pipi yang bersemu merah jambu.
Ia menangkup pipiku dengan kedua tangan lalu mendekatkan wajahnya. Merasakan bagaimana bibir kami bersentuhan dan akhirnya saling memagut. Menghisap dan membagi rasa yang nyaris menghilang diantara kami membuatnya seperti hilang kendali.
Sebenarnya, ada jawaban yang lebih dari cukup dibanding semua pernyataannya tadi. Bukan tentang mengapa ia meninggikan ekspetasi terhadap seseorang yang ia cintai, tapi mengenai kebenaran kalau sebenarnya ia mencintaiku.
Aku merasa dicintai.***
Ketika malam semakin larut, kami malah memutuskan keluar dari kamar untuk duduk berdempetan di pesisir pantai. Mendengarkan debur ombak yang menyejukkan hati. Aku menggaet lengannya sembari mengambil kesempatan untuk menyenderkan kepala dipundaknya. Ia membentangkan selimut hotel untuk melapisi pundak kami agar tidak kedinginan.
“Kamu belum jawab tadi. Gimana caranya kamu sampai di sini?”
Ia menengok sedikit lalu berkata, “kamu lupa aku ini hacker?”
Membuatku langsung mengingatnya.“Ah, iya.”
“Selama sinyal dan lokasi diponselmu menyala, kamu masih bisa terlacak. Kenapa kamu harus pergi ke tempat yang nggak ada sinyal begini, sih? Aku sampai frustasi harus ngapain.”
“Aku awalnya pengen pergi jauh. Tapi bingung harus ke mana. Supir taksi yang menyarankan pergi ke sini untuk healing katanya.”
“Dan kamu mau begitu saja?”
“Hm. Kukira cara buat sembuh mungkin dengan cara ini. Tapi bodohnya aku lupa bawa obat. Cemasku kambuh dan aku butuh dokter psikologku untuk konsultasi. Tapi buat dapat sinyal harus pergi menanjak ke bukit beloam di situ,” tunjukku pada salah satu bukit yang kudaki tadi. Esa melongo heran.
“Siapa yang temani kamu?”
“Pak Ridwan dan Bu Susan. Mereka pramutamu di sini. Yang tadi sempat jelasin kondisiku itu.”
Esa membulatkan bibir sebelum mengangguk-angguk paham. Pak Ridwan tadi memang sempat menghampiri untuk memberitahukan kondisi yang sedang terjadi.
“Pak Ridwan juga punya anak perempuan yang sakit depresi. Tapi sayangnya sudah meninggal tujuh tahun yang lalu karena overdosis obat tidur.”
Esa terkejut, prihatin. “Ya ampun,” katanya.
“Aku sempat nangis pas Pak Ridwan bilang: ‘Mbak Noumi jangan begitu, ya. Nanti kasihan orang tuanya. Saya saja sampai sekarang masih sedih. Kayaknya bakal berlangsung seumur hidup.’Begitu. Padahal beliau kelihatannya murah senyum.”
Esa tiba-tiba mengecup keningku demi menepis gusar yang mengetuk hatinya.
“Kamu terlahir untuk dicintai, Nom. Jadi, jangan pernah takut untuk hidup. Pun sebaliknya. Jangan pernah takut tuk mati. Sebab kita semua punya takdir akan itu.”
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Dream First Class
Mystery / ThrillerKita tidak cukup kompatibel untuk membuat anak-anak tumbuh dengan rasa aman dan nyaman. Selalu ada kejadian dimana anak-anak merasa trauma akan sesuatu dan akhirnya mereka akan tumbuh bersama itu. Bahkan anak yang tidak broken home sekalipun bisa sa...