40. Forgiveness

0 0 0
                                    


“Hai,” sapaku pada seseorang yang tengah duduk bersandar di ranjangnya tepat setelah membuka pintu salah satu kamar rumah sakit Trauma Center. Ia melihatku dengan sedikit tegang, namun tak membalas sapaan. Ini terasa asing. Aku mencoba tenang dengan menutup pintu kamarnya kembali. Berbalik menghadapnya yang kini malah menunduk; meraba-raba rasa linglung atas situasi di luar dugaan. 

“Apa kabar?” tanyaku masih di tempatku lebih dekat beberapa inci. Menahan napas di dada karena gugup setengah mati.

Ia membeku. Tak lama kemudian berusaha sekuat tenaga mengangkat pandangannya dengan lebih berani. Tanpa kendali, aku menarik senyuman canggung karena ingin mencairkan suasananya, namun ia masih dalam kondisi yang sama. Tubuhnya kurus dan pipinya tirus. Ketika itu aku mengerti lintah apa yang telah menyedot sari-sari kebahagiaannya. Mungkin ia juga sepertinya mengerti kondisi apa yang tengah kualami dengan tatapan nanarnya yang berkedip lambat, tak mampu terucap. Hanya berpaling.
Aku mengerutkan dagu, menyampirkan tas selempangku ke belakang, lalu kemudian berjalan maju hingga bokongku sampai di kursi tepat di sampingnya. Suara napas berdesir keras. Tatapannya bak iblis waktu itu masih terus teringang walaupun sudah dua belas bulan berlalu.

Kami benar-benar tidak pernah bertemu selama itu. Jujur aku sangat khawatir padanya dan ingin sekali langsung mempertanyakan apa yang sebenarnya ia rasakan. Kenapa ia begitu marah sampai rela menghabisi nyawa sahabatnya sendiri? Kenapa jika menjadi gay begitu mengganggunya? Aku tahu. Itu pasti pertanyaan yang tidak tepat untuk diajukan waktu itu maupun sekarang. Tapi, aku hanya tidak bisa menelan mentah-mentah omongan jelek orang lain tentangnya.

“Sebenarnya, Esa itu sudah lama berhubungan homoseks dengan rekan kerjanya sendiri, tapi ia tidak pernah mengaku kalau dirinya gay. Sebagai gantinya, banyak perempuan yang didekati dan dipacari olehnya untuk menutupi kebenaran itu. Aku tidak tahu alasan mengapa ia membunuh Richie yang jelas-jelas sahabat karib yang membantunya dalam segala hal. Apa ia psikopat?”
Seseorang yang tidak ingin disebutkan namanya itu, berkata dulu pernah bekerja di perusahaan ayahnya Rico juga. Desas-desus tentang kabar kedua orang tersebut telah menjalin hubungan sudah cukup diketahui banyak orang.

Aku mendengar ceritanya ini beberapa minggu yang lalu saat orang ini secara sengaja mengunjungi café untuk bertanya-tanya tentang kabar Esa. Awalnya aku tidak ingin menyebarkan apapun kepada orang lain yang sekadar ingin tahu apakah benar ada seorang pembunuh di sini, tapi ternyata orang itu datang untuk membagikan sedikit informasi penting tentang keduanya.

Awalnya aku menolak percaya, namun tak dapat dipungkiri, setiap malam overthinking mengkungkung nalarku. Kepercayaanku goyah lagi. Apa Esa benar-benar melakukan itu? Apa semua ceritanya tentang tidak memiliki identitas dan mengidap fugue disosiatif itu bohong? Apa aku hanya dibodoh-bodohi? Jadi cintanya padaku selama ini palsu? Buat apa?
Sebenarnya, ada banyak pertanyaan yang bahkan keluar dari korelasi yang mungkin punya probabilitas yang sama besarnya. Ia tak dapat memastikan apakah aku aman bersamanya bukan semata-mata karena resiko pekerjaan, tapi karena takut mungkin saja aku bisa terbunuh oleh tangannya sendiri, catatan; aku memasukan dugaan psikopat tadi. Tapi seorang psikopat tidak pernah mengkhawatirkan orang-orang di sekitarnya atas perilakunya sendiri. Ia mengakui bahwa ia menyayangi Richie, lalu ia membunuhnya. Bisa jadi aku korban selanjutnya. Tapi, apakah ia menyayangiku?
Segala dugaan yang menggantung jadi melilit emosi. Aku marah dan frustasi padanya karena mempermainkanku seperti boneka. Niatnya saat jauh-jauh hari, aku ingin menodongnya dengan genjatan pengakuan atas kekesalanku yang meledak-ledak, tapi entah mengapa setelah melihatnya tadi dengan tatapan mati, aku membisu. Tak bisa mengatakan apapun selain melihatnya menunduk ketakutan sekarang.

Jari-jarinya bergetar. Berpindah cepat kepangkuan sendiri karena menyadari tanganku terangkat untuk menenangkannya. Ia tidak ingin disentuh sama sekali.

Dream First ClassTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang