50. Cara berterima kasih

0 0 0
                                    


Pertanyaan itu juga yang sering muncul dikepalaku belakangan ini,” akuku beberapa saat ketika ia nyaris menumpahkan air matanya.

Kemudian tersenyum lebar-lebar ketika ia melihatku dengan wajah parau. “Ternyata aku nggak sendiri.” Membuatnya mengelap air mata cepat-cepat bagai anak kecil yang dimarahi Ibunya karena terlalu banyak menangis sementara aku melompat kecil untuk menjongkok kemudian duduk tepat di depannya.

“Udah jangan sedih,” cetusku mengambang. Mengulurkan singsingan lengan panjang hingga punggung tangan untuk ikut mengelap air matanya. “It’s okay. Bukan masalah besar ketika kita nggak tahu siapa diri kita yang sebenarnya. Kamu nggak punya masa lalu? Nggak jadi masalah! Kita bisa buat masa lalu itu dari sekarang.”
Aku mengangkat alis. Tersenyum sampai menyentuh pipi. “Gimana?” Membuatnya berkeluh kesah.

“Kenapa kamu begitu positif, Nom?”

“Hm?” Aku berpikir. Kemudian mengendikan bahu. “Nggak tahu. Aku Cuma pengen bahagia. Karena mau senang atau sedih, ujung-ujungnya juga kematian.”

Ia menghirup kuat cairan ingusnya cepat. Memiringkan kepala sejenak.
“Benar juga, ya.” Kemudian menjadi sedikit bersemangat. “Kamu pengen bahagia?”

“Hm!” jawabku sambil mengepalkan kedua tangan. Esa pun akhirnya memiringkan tubuh untuk mengeluarkan dompet dari kantong yang berada di bokongnya. Aku mengerti mungkin ia ingin memberiku uang untuk hal paling dasar kebahagiaan. Itu memang benar bisa membuat bahagia. Namun aku juga tidak ingin membebani orang lain dengan hal itu. 

“Pin-nya 123456. Saldonya ada 50 juta. Boleh dipakai semua,” katanya sambil mengapit atm-nya diantara jari tengah dan telunjuk. Aku menelan saliva. Tak dapat dipungkiri, biar dalam keadaan begini, ketertarikanku dengan uang masih sangat tinggi. Jelas saja. Hal itu paling banyak menghabiskan waktuku karena mencarinya siang-malam.

Siapapun tidak bisa untuk tidak senang ketika hal tersebut dengan jumlah banyak disodorkan oleh orang lain secara Cuma-Cuma.

“Aku mungkin nggak tahu cara membuat kamu bahagia. Tapi aku punya uang buat beli apapun yang InsyaAllah bisa buat kamu bahagia,” katanya dengan alis terangkat agar aku segera mengambil benda tersebut.

“Seriusan?” tanyaku meyakinkannya. Siapa tahu ia masih ingin berubah pikiran tapi ternyata matanya malah mengerjap pelan lalu ia mengangguk mantap.

“Serius sayang ….”

Aku pun mengangguk puas. “Tapi cukup, kan?” tanyanya yang entah mengapa terdengar sangat konyol. Aku pun tertawa.

“Lebih dari cukup malah,” sergahku lalu akhirnya menerima benda tipis itu dengan kedua tangan.

“Setiap pengeluarannya bakal kukasih tahu, ya.”

“Nggak perlu. Nanti kan sms-nya masuk sendiri.”

“Walaupun begitu.”

“Nggak usah lah. Nggak usah dihitung-hitung.”

“Kenapa?”

“Ya karena itu buat kamu semua.”
Aku mengangguk paham saat memasukan atm-nya ke sela dompetku namun tak bisa mencegah ingin bertanya sedikit karena penasaran.

“Kenapa, sih, kamu bisa semudah itu memberi orang lain kepercayaan?”

“Memang kamu orang lain?”

“Of course aku orang lain.”

Ia menghimpit bibirnya ke dalam gigi sambil berpikir lain.

“Kamu bukan siapa-siapa tapi kamu satu-satunya orang yang berdiri kuat buat aku. Bagaimana bisa aku menganggap kamu orang lain?”

Aku tertegun. Memandang tepat ke dalam bola matanya yang berkata dengan kejujuran hati.

“Meski aku pembunuh. Meski aku pernah gay. Meski kamu takut dan selalu was-was denganku. Kamu tetap di sini. Pikiranmu memang nggak pernah gampang ditebak tapi anehnya kamu tetap stay di sini. Datang sendiri tanpa kuminta. Mendengarkanku walau pernah kutimpuk bonsai kimeng.

Menghiburku. Memberiku harapan.”
Ia melihatku yang melihatnya dengan mata berkaca-kaca. Mengalihkan netra pada helai suraiku yang berantakan kemudian menyelipkan beberapa ke belakang telinga. Ia mengecup di bagian kening sambil bibirnya berbisik dengan rasa terima kasih.

“Mungkin kalau nggak ada kamu aku bisa mati. Makasih, ya, sayang.” Karena aku tidak kuat menahan malu saat memandang matanya, yang bisa kulakukan hanya langsung mengalungkan lengan di lehernya. Memeluk dengan perasaan berbunga-bunga. 

“Kamu tahu kenapa aku tetap stay di samping kamu?”

“Hm?” tanyanya. Melepaskan pelukanku sejenak untuk meminta alasan sambil mengelus-elus lembut pipiku. “Kenapa?”

Aku dengan kuat mencoba terus menatap matanya. “Karena aku suka melihat diriku sendiri dari sudut pandang kamu.”

“Oh, ya?”

“Hm. Mungkin saat sama orang lain kadang aku merasa rendah. Insecure. Tertekan. Nggak dihargai. Tapi saat sama kamu, aku merasa berharga. Justru aku harusnya yang berterima kasih karena kalau nggak ketemu kamu, mungkin aku nggak akan sembuh dari depresiku.”

Esa mengangguk-angguk kemudian secara alami kami saling mengecup bibir satu sama lain. Bahkan itu tidak benar-benar aku sadari saking nyamannya.

“Tapi aku minta maaf, waktu kejadian tiga hari yang lalu aku sempat berpikir kalau aku mungkin menyesal ketemu kamu.”

“Iya. Nggak apa-apa.”

“Anak-anak menangis. Olin sampai menjeduk-jedukan kepalanya ke tembok, lho.”

“Hah?!”

“Tapi tenang aja. Aku sudah bawa ke Rumah Sakit dan syukurnya nggak terjadi apa-apa. Tapi sebisa mungkin kata dokter harus di jaga supaya kepalanya nggak terkena atau terbentur benda.”

“Anak itu ngelakuin hal itu?”

“Hm. Dia nangis pengen ketemu Richie.”

“Terus kamu bilang apa?”

“Awalnya aku juga nangis. Terus baru bilang kita bakal ketemu kak Richie kalau Olin kondisinya sudah membaik.”

Esa memundurkan dirinya. Mulai memasang ekspresi resah saat berpikir sambil memeluk kedua lutut. Aku memegang pundaknya.

“Kamu harus balik ke rumah, sayang. Biar bagaimanapun anak-anak butuh kamu,” kataku mencoba meyakinkannya namun ia sedang berpikir sebaliknya.

“Gimana sama Ajeng?” tanyanya sambil menatapku terpaku. “Apa dia mau menerima aku lagi? Apa anak-anak bakal baik-baik saja dengan seorang pembunuh?”

Aku menarik napas kuat-kuat lalu melepasnya dengan panjang. Bingung harus bagaimana.

“Bagaimana caraku harus menebus dosa ini?” tanyanya kepada udara namun tatapannya tanpa makna.

“Kamu bisa menjelaskan alasan kamu sama aku dengan baik. Kenapa nggak dicoba ke anak-anak juga?”

Ia berdecak sambil menggeleng ringan. “Jelas penerimaannya akan beda.”

“Kan belum di coba.”

“Cara berpikir anak-anak dan orang dewasa itu berbeda, Noumi.”

“Justru karena berbeda, kita harus mencoba menjelaskan dengan cara yang berbeda juga, dong.”

Esa mengusap wajahnya. “Memangnya anak-anak mau mendengarkanku lagi?”

“Mereka setiap hari hanya menangisi kamu, tahu.”

“Oh, ya? Kenapa?”

“Nggak tahu. Pokoknya semenjak kamu pergi yang mereka panggil itu Cuma kamu. Biar bagaimana pun, mereka itu wujud cinta dan kasih sayang. Jadi kecewa itu hal yang wajar diekspresikan oleh seseorang yang punya rasa mencintai.”

“Mereka cinta sama aku?”

“Jelas.”

“Tapi aku harus bagaimana, Nom? Aku takut.”

Kini giliran aku yang mengusap wajah karena agak frustasi.
“Kamu bisa minta maaf dulu sebagai permulaan. Terus perlahan jelasin apapun tanpa ditutup-tutupi seperti yang tadi kamu sampaikan ke aku.”
Ia merengut namun memastikan dengan lirih.

“Gitu aja?”

Aku pun mengangguk dengan yakin. “Iya. Coba aja dulu.”

***

Dream First ClassTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang