59. Do dream

0 0 0
                                    


Ia tidak lantas menjawab karena teralihkan pada alisku yang bergerak-gerak aneh.

“Kamu baca whatssapp-ku, ya?” tanyanya curiga. Yang tak disangka-sangka tahu padahal sudah kupastikan tadi dia sama sekali tidak menoleh. Hal itu sungguh membuatku tak bisa berkilah.

“Hm, anu, aku—”

“Lain kali jangan kayak gitu, ya.”

Membuat lidahku menggantung di langit-langit. Mengira ia bakal marah besar, ternyata hanya sebatas peringatan.

“Oke!” seruku kemudian. Berusaha memperbaiki suasana. “Tapi, untuk beberapa hari ke depan …. kamu bakal membahas hal ini, kan?”
Esa menghirup cairan di hidungnya keras-keras setelah berpikir keras, sekeras menyedot cairan itu.

“Nggak dulu,” katanya. Menelisik visi yang seolah sedang tergambar jelas di depan hidungnya. “Aku hanya ingin hidup 6 bulan lagi. Di waktu 2 bulan terakhir …. mungkin aku bakal bahas itu.”

***

Aku mengamati kalender tahun 2020 yang menempel di badan pintu kamar kosan. Di zaman serba cepat saat itu, bisa-bisanya seorang Noumi Roula menggunakan benda tersebut untuk melingkari hari. Menghitung hari-hari terakhir ia bisa menikmati hidup.

Aku sadar, Esa sekarang itu adalah cerminan diriku yang dulu, 3 tahun yang lalu. Seorang Noumi Roula juga pernah melakukan ini untuk dirinya sendiri. Melingkari setiap tanggal di kalender dengan spidol merah. Pasti akan ada hal yang membuatnya berubah pikiran di ujung jalan nanti. Aku percaya. Jadi bisa saja saat ini semua berlagak tampil seburuk itu untuk melabuhi akhir yang indah? Tidak ada yang tahu.

Tapi sekarang hatiku murung setelah kehilangan presensi anak-anak. Aku khawatir kepada si kembar Tato dan Toto yang kerjaannya bermain game sepanjang hari, kini dibawa Ayahnya merantau menemui Ibunya di Arab Saudi. Aku sedih mengetahui keluarga Ajeng memutuskan kontak secara sepihak dan memilih menghentikan silaturahmi pada Esa. Aku merasa kehilangan, karena Rico dan Nana dibawa Papanya ke Jepang untuk tinggal di sana bersama Mama baru. Dan rasa perih yang tak tersampaikan adalah, Olin sudah dititipkan ke Panti Asuhan oleh Neneknya Ajeng.

Tanpa sadar, Esa telah menumbuhkan rasa kepedulianku terhadap orang lain, terutama anak-anak. Aku secara naluriah belajar bagaimana rasanya menjadi orang tua. Bagaimana rasanya saat anak-anak menyuarakan kekecewaan mereka lalu menolak tinggal lebih lama karena tak menerima orang tuanya pendosa. Aku seolah jadi tahu bagaimana rasanya bumi tidak disinari matahari ketika kesepian. Dan tanpa sadar semua itu mungkin telah melanda Ayah dan Ibuku hingga saat ini.

***

Aku berdiri di depan pagar kosan dengan sekardus buku bekas. Mengecek whatssapp dari Pengurus panti yang mengatakan ‘siap’ bahwa kami akan ke sana di jam 10 pagi. Esa keluar dari mobilnya untuk membuka bagasi. Segera kumasukan barang tersebut sementara ia bergegas pergi mengambil barang serupa dalam kosanku yang pintunya sengaja dibuka lebar-lebar agar tak menghalangi jalan kami keluar-masuk—sembari menumpuk dan mengepaskan susunan kotak-kotak tersebut layaknya tetris. 

Di hari aku membaca isi Whatssapp-nya, kami duduk tertunduk di ruang tamu sambil menopangkan kedua tangan di atas meja kaca. Berbicara panjang lebar tentang kendala yang menyebabkan semua ini terjadi lalu mengelap beberapa bulir air mata yang terjatuh di pipi.

Esa pergi untuk mengambil sesuatu sebelum akhirnya menyodorkan kertas untuk menulis wish list yang ingin dilakukan selama 6 bulan ke depan kepadaku. Aku tak tahu ingin melakukan apa dalam kondisi hati yang bercampur aduk begini namun hebatnya ia bisa memberikan contoh seperti: mencoba pengalaman baru sporty, mencoba makanan yang tidak pernah di makan, melakukan self reward, atau kalau mau bahkan ingin melakukan project amal sekalipun, sangat diperbolehkan.

Dream First ClassTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang