34. Tentang cinta

0 0 0
                                    


Sudah cukup lama aku mempelajari asmara dan relationship dari berbagai sumber di internet. Dari bentuk video sampai artikel, semua kujabani. Tapi apa jadinya teori tanpa praktek? itu sama saja dengan belajar sebatas hafalan. Katanya, ciri-ciri pria yang ingin serius itu adalah yang lebih banyak ‘melakukan’ dibanding ‘perkataannya.’ Sementara yang sering kurasakan, Esa dominan dengan kata-kata indah yang membuatku yakin kalau ia jodohku. Untuk memvalidasi hal tersebut, hampir setiap hari aku mengujinya dengan trik-trik kecil agar keraguan dalam dada ini sedikitnya meluntur. Seperti meminta bantuan apapun padanya.

“Sayang?”

Ia sedang sibuk mengerjakan pekerjaannya dengan laptop dan tablet di atas meja makan sementara anak-anak tengah bermain di ruang tengah. Ini jam makan siang.

“Sayang…!”

Ia akhirnya menoleh. Terkejut.
“Hm? Kenapa sayang?” tanyanya. Aku mengkerutkan alis.

“Ini, nih. Kenapa kompor di sebelah kanan nyalanya lebih kecil dari yang sebelah kiri, ya? Aku dari tadi ngukus kentang nggak matang-matang, lho.”

“Oh, ya? Biasanya nggak begitu, kok,” cetusnya sambil meletakkan tab yang ia pegang di atas meja. Beranjak untuk menghampiriku dengan raut bingung. Sambil melihat kompor, satu tangannya meraih jemariku untuk digenggam. Tak lama memberitahukan kalau ia memang sempat menghubungi tukang reparasi untuk memperbaiki listriknya yang sering konslet. Jadi untuk sementara, ia menawariku memasak menggunakan kompor portable sebagai gantinya. Tak perlu repot-repot ingin diajari bagaimana cara memasangkan gas-nya, ia dengan segenap inisiatif sudah melakukan hal tersebut untukku. Sebagai hadiah, aku mengecup pipinya sambil tersenyum manis.

“Makasih, ya, sayangku.”

Kemudian dibalasnya dengan mengecup keningku.

“Sama-sama, cintaku.”

Selain untuk membuatku percaya ia laki-laki yang serius atau tidak, aku juga jadi tahu kalau love language-nya benar-benar phisychal touch . Ia lulus tahap pertama.

***

Tips yang kedua. Jika ingin tahu apakah pasangan adalah patner yang tepat untuk kita, perhatikan apakah saat dengannya kamu merasa bertumbuh atau tidak.

“Sebenarnya aku nggak berbakat nulis novel, yang,” akuku disela-sela perbincangan kami mengenai tujuan hidup di pinggir kolam renang. Menyesap kopi instan sambil menikmati angin sepoi-sepoi yang membuat batang bambu bergemerisik ditaman. Esa mendengarkanku dengan cermat. Sesekali bertanya. “Kenapa?” Dengan raut polos.

“Aku orang yang menggebu-gebu di awal, tapi setelah di tengah jalan … ceritaku nggak selesai. Terus kalau mau ubah haluan buat nulis genre yang lain kayak puisi atau cerpen, ternyata itu lebih susah.”

“Kalau untuk saat ini, project nulis yang lagi kamu kerjakan, apa?”

“Novel. Sudah hampir empat tahun nggak selesai-selesai.”

“Masalahnya dimana?”

“Itu tadi. Mungkin karena aku kurang motivasi kali, ya?”

“Hm,” sahutnya menegaskan. Menyesap kopinya sesaat lalu merebahkan punggung di bean bag sofa sebelum melanjutkan dengan ketenangan konstan. “Sama terlalu menargetkan ekspetasi. Fokus saja menulis apa yang kamu mau tanpa berpikir itu bisa dipublish atau dijual. Karya yang terjual laris, kan, berawal dari karya yang tidak terjual laris.”

Ting!

Benar juga.

***

[Kamu bisa menulis puisi kayak gini?]

Esa membagikan sebuah link di whatssap yang isinya adalah website dari Koran yang mem-publish karya-karya penulis terkenal dan mumpuni. Aku yang tengah bersila di atas kasur sambil menatap kosong lembar word pada layar laptopku, menunduk mengusap jidat sendiri. Membalasnya dengan amarah yang tertahan.

[Tidak bisa.]

Ia pun membalas dengan bernegosiasi.

[Ada lomba bikin puisi se-Indonesia. Temanya, ‘manusia.’ Kamu tinggal buat puisinya maksimal 4 bait, margin normal, diketik dengan font: Times New Roman, ukuran 12, spasi 1.5, dan Bionarasi maksimal 50 kata. Deadline-nya Desember tanggal 1. Syarat untuk mendaftarnya biar aku yang bikinkan. Mau, nggak?]

Aku menghela napas dalam sekejap merasa stress, namun chat darinya masuk lagi.

[Cobalah mulai konsisten, per-hari menghasilkan setidaknya satu lembar tulisan. Kamu hanya fokus buat nulis. Masalah mau dijual atau nggak, biar aku yang urus.]

Lihat? betapa tumbuh dan berkembangnya aku kala bekerja sama dengan orang ini. Tak ada hari yang membuatku berpikir kalau sebenarnya aku ini kena depresi. Semua perasaan hancur leburku akan tertuang ke dalam sajak-sajak puisi yang menguras emosi. Bahkan novelku yang lama mangkrak, kini dalam proses pengerjaan kembali. Dengan berat hati aku mengambil ponselku lagi lalu mengetikan sebuah balasan.

[Siap pak Dwi.]

***

Tips ketiga. Ketika ingin mengetahui apakah ia adalah pasangan yang tepat, selain dari mengajak membawa hubungan kalian ke jenjang yang lebih serius, lihat lah dari bagaimana ia menyusun visi dan misi hidupnya untuk masa depan. Apakah ia orang yang punya pendirian dan tujuan yang jelas untuk membangun rumah tangga, atau hanya sekadar memanfaatkan waktu, tenaga, emosi pasangannya demi kepentingan pribadi?

“Jadi, alasan kuat kamu mau menikah sama aku itu karena kamu ingin adopsi Tato dan Toto?” tanyaku agak terperangah mendengar pernyataannya. Sementara ia yang tengah menyusun schedule perlombaan anak-anak pada tabel Microsoft excel dengan fokus mendalam, hanya menaikan kacamatanya dengan telunjuk. Berdeham, “hm.” Sejenak.

“Bukan karena cinta sama aku?”
Aku berlagak dramatis namun tak membuatnya jadi seketika simpati.

“Lihat. Tim-nya Tato dan Toto kemarin masuk semi final, lho. Mobile legend,” paparnya dengan senyum bangga. Aku mengangguk-angguk. Turut merasa bangga menyaksikan video yang ia putar pada tabletnya.

“Oh, iya. Aku sudah kasih tahu ini ke kamu belum, ya?” tanyanya menerka-nerka sambil meletakkan benda tersebut di atas meja. Aku mengangkat alis.

“Apa?”

“Begini. Aku punya kenalan, namanya Pak Andreas. Kebetulan beliau ini adalah produser rekaman yang lagi buat acara musik di Taman Budaya sabtu nanti. Katanya di sana akan ada pertunjukkan tari-tarian, teater, sama menyanyi. Kira-kira Ajeng mau nggak, ya, kalau aku ikutkan di sana?”

“Kamu sudah tanya sendiri sama anaknya?”

“Belum. Tadi aku lihat lagi bobok siang.”

“Ya, sudah. Nanti kita bisa tanya lagi.”

“Hm.”

“Tapi soal kamu mau adopsi Tato dan Toto itu, beneran?”

“Iya.”

“Tapi kan kita batal menikah,” celaku membuatnya berhenti mengetik. Memandangku jengah.

“Bukan batal, sayang. Diundur.”

“Jadi, kamu beneran mau nikahi aku?”

“Hm.”

“Bukan karena kepentingan pribadi?”

Pertanyaan konyolku mulai membuatnya kesal. Suasana hati dan kondisi yang sedang produktif begini malah dirusak dengan pertanyaan cemerlangku.

“Dapat teori konspirasi dari mana, sih? belajar dari Rico, ya?” tanyanya agak geram. Sedangkan aku tidak punya rasa takut.

“Dia yang belajar dari aku bukan aku yang belajar dari dia. Kalau kamu menjadikan pernikahan sebagai alat untuk kemajuan perusahaanmu ini, maka aku bukan calon yang tepat buat kamu.”

“Aku nggak menjadikan kamu ‘alat.’”

“Memang bukan aku. Yang kubilang pernikahan kita. Kenapa, sih, kamu menjadikan pernikahan sebagai alasan bisa mengadopsi mereka? Mereka kan masih punya ayah.”

Esa dengan total memberhentikan pekerjaan yang tengah ia kerjakan.

“Ini tentang cinta, sayang. Kamu nggak akan ngerti.”

***

Dream First ClassTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang