38. Ajeng yang peka

0 0 0
                                    


Rumah sakit. Hal yang pertama kali kulihat saat mata ini terbuka adalah langit-langit kamar rawat inap rumah sakit dan Maurer. Anak itu tersenyum padaku sebelum kemudian beranjak membuka jendela kamar agar sinar mentari bisa masuk. Sudah pagi rupanya.

“Kakak sudah merasa baikan?” tanyanya. Aku melihat jarum infus yang menusuk punggung tanganku.
“Aku sakit apa?” Ia pun menjawab.

“Anemia.” Membuatku sadar akan tubuhku yang terasa lemas.

Pelan-pelan kepalaku pusing dan detak jantungku berdenyut tidak karuan, sedangkan rol memori di kepalaku bergulir lambat menampilkan kejadian-kejadian tak mengenakan yang membuatku begini. Aku ingin bertanya tapi tidak berani. Yang bisa kulakukan hanya fokus untuk pulih agar cepat pulang.

Pulang? Pulang, ya. Kenapa semua orang ingin pulang saat bahkan tempat untuk pulang pun tidak ada. Di kos tidak ada orang. Di rumah Esa, tidak ada anak-anak. Kepada siapa aku harus berpulang? Apakah harus menelpon orang-orang di Manado? Kenapa rasanya seperti tidak punya keluarga? kenapa rasanya hanya ada aku sendiri? Ketika serat-serat panik menyerang penalaranku, aku sempat terkejut melihat Maurer yang ternyata sedang berbicara serius di sampingku. Aku menemukan diriku sedang mendengarkan dia dengan posisi duduk rapi bersandar pada punggung ranjang, tapi pendengaranku seperti di dalam air.

Apa aku tenggelam?

Kenapa suaranya jauh sekali? 

Aku menggeleng, menggetarkan kepala mencoba kembali. Melihat kakiku ditutupi selimut dan tanganku melipat rapi di bawah perut. Sebaiknya aku terpejam. Tapi ketika berkedip, hari sudah malam. Selalu seperti itu. Lalu setelah melewati hari-hari dengan perasaan yang tertinggal di gelas kosong selepas minum obat, aku baru tersadar yang kurasakan saat ini adalah: kehampaan.

***
Masa depan itu selalu menakutkan. Selalu membuatku mundur satu langkah dari tekad yang sudah nyaris membulat. Aku berdiri di depan makam Richie. Menaruh bunga krisan pada batu lisannya.

Termenung. Entah mengapa angin sore terasa menyejukan meski hanya sebentar. Meniupkan ketenangan untuk isi kepala yang tengah berskenario jika seandainya waktu itu aku berbuat sesuatu, pasti orang ini tidak akan terbaring tanpa nyawa di sini sekarang. Ia seolah mati sia-sia. Bahkan jika mengulas tentang riwayat perjalanan hidupnya, bisa dikatakan itu adalah awal dari uji coba bahan peledak yang ternyata menghabisi nyawa penciptanya.

Kadang aku tidak mengerti tentang apa yang kukatakan. Apa yang kupikirkan. Bagaimana caraku melakukan. Kenapa semua ini repot-repot terjadi jika tujuannya hanya untuk ketenangan?
Kenapa Tuhan mengatur pergerakan? Untuk apa ia melakukan ini semua? Bermain-main? Menghabiskan waktu luang? Jika aku Ibunya, maka aku akan memperingati untuk tidak melakukan apapun di awal. Jika ia berhasil diam, maka aku akan meminta Ibuku untuk tidak melahirkan, agar aku kembali ke ketiadaan. Seperti Richie sekarang. Jika saja ia tidak lahir dalam kesengsaraan, sudah pasti ia tidak akan berakhir dalam kesengsaraan pula. Seharusnya dari awal ia tak pernah ada. Seharusnya awal tak pernah ada agar akhir tak pernah ada. Kenapa semua hal harus berakhir, lalu kembali lagi di awal? Apa yang terjadi sebelum awal? Apa seperti angka satu sesudah nol? Lalu sampai angka berapa kau bisa berhitung maka disitu adalah akhir?

Semesta ini benar-benar melelahkan. Tapi tak dapat dipungkiri sangat menggiurkan. Semakin perih kejadian yang menimpa manusia, maka imajinasi tentang kebahagiaan akan semakin kuat. Meski sedikit, aku ingin sekali menyentuh itu. Sekali saja.

***

Taman budaya. Hari sabtu, pukul Sembilan tiga puluh pagi.
Aku berjalan menyusuri keramaian acara pentas seni dan musik di taman ini. Penuh kebudayaan.

Gelembung-gelembung sabun memenuhi udara dan ramai-ramai anak-anak kecil memakai baju adat khas Sasak; Lambung, sedang menunggu giliran untuk pentas dengan nomor urut dada. Pentas seni dan musiknya adalah acara unggulan yang digelar di Galeri utama; tempat para wisatawan dan media berkumpul untuk mengambil gambar. Namun sebenarnya, berbagai lomba sedang diadakan dalam waktu yang bersamaan pula di aula-aula kecil taman ini. Yang paling banyak kulihat adalah; lomba melukis dan mewarnai. 

Dream First ClassTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang