21. Malaikat penolong

3 0 0
                                    


"Ini kartu namamu," ucap Esa saat memberikan beberapa padaku. Aku menyimpannya di dalam dompet.

"Hati-hati simpannya. Jangan sampai hilang."

"Iya," kataku sedikit jengah. Kemudian beranjak dari tempat duduk sendiri. "Aku boleh ke toilet sebentar?"

"Boleh... tempatnya persis di samping bawah anak tangga itu, ya."

"Hm," jawabku mengangguk, kemudian dengan cepat berjalan menuju tempat itu. Akibat over dosis minuman gratis dari Richie, aku jadi kebelet pipis. Pria manis itu seenaknya memberikan minuman mahal dengan gratis beberapa kali mentang-mentang tidak dimarahi yang punya. Kalau aku yang punya café ini, sudah kupastikan ia hanya akan menyisakan namanya di sini.

"Kak..."

"Oh!" Aku menoleh ketika merasakan seseorang menarik kemejaku dan terkejut melihat sosoknya yang polos.

"Saya lupa taruh tisu di kamar mandinya tadi, mohon maaf," katanya sambil menyodorkan tisu gulung utuh padaku. Rautnya tidak dibuat sebagaimana semestinya berperilaku dihadapan orang asing. Ya, hanya ingin memberikan tisu secara informal. Setelah menerima itu aku langsung mematikan kran wastafelnya yang sempat kupakai untuk mencuci tangan tadi. Mengelap punggung tanganku dengan tatapan yang masih tertuju padanya. Rambutnya dibuat klimis dan berkilau.

"Kamu kerja di sini?" tanyaku curiga. Kuamati baju seragamnya persis seperti yang dipakai Richie. Ditangan kirinya tengah memegang alat pel. Ia mengangguk setelah menganilisa pertanyaanku.

"Iya. Saya shift malam hari ini. Memangnya kenapa, kak?"

Alisku merengut. Kak? Aneh sekali dia bisa tahu kalau aku masih muda. Rasanya cukup senang, sih, dibanding harus mengalami mental breakdown kala dipanggil, 'bu,' oleh orang asing. Bahkan anak-anak yang masih TK pernah memanggilku dengan sebutan 'Tante,' saat mau bertanya dimana chiller es krim di supermarket. Kurang ajar nian, memang.

"Kamu masih sekolah?" tanyaku pelan. Ia terlonjak. Matanya sedikit bergetar karena tiba-tiba menjadi gugup.

"Kelas dua belas SMK. Jurusan TKJ."

"Oh, gitu...," kataku sambil mengangguk paham. "Aku baru tahu kalau anak sekolah boleh kerja paruh waktu begini."

"Kalau nekat bisa saja, kak."

"Oh, ya? Kenapa bisa nekat?"

"Soalnya saya punya empat orang adik yang harus dinafkahi. Saya lima bersaudara dan saya anak sulung. Adik-adik saya ada yang masih SMP dan SD. Bahkan ada yang belum sekolah."

"Oh ya? Hebat banget kamu bisa nafkahi mereka. Hitung-hitung meringankan beban orang tua, ya?" Ia langsung mendengus menunduk sambil menggeleng. Sepertinya tengah menghalau pujian.

"Ngomong-ngomong, kakak sendiri sekolah di mana?"

Aku terkejut, sebab karenanya aku merasa aneh pada diriku sendiri. Dari mana ia bisa berpikiran kalau aku masih sekolah? cara pandangnya benar-benar kontras dengan orang yang pernah kutemui di berbagai pelosok manapun. Ini mukjizat.

"Aku sudah lulus dan sudah pernah bekerja juga dua tahun yang lalu," kataku dengan nada yang perlahan menciut, malu.

"Oh..." Ia membentuk mulutnya menjadi huruf 'O,' kemudian disusul dengan uluran tangan. Wajahnya masih imut dan cukup tampan untuk menjadi barista di sini. Tinggi kami pun hampir sama walau lebih unggul dia beberapa cm.

"Namaku Maurer." Dia tiba-tiba mengajak berkenalan.

"Apa? Mario Maurer?" candaku dengan nama artis Thailand. Ia pun hanya menggeleng, nampak tidak tahu.

Dream First ClassTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang