28. Our daily activities

1 0 0
                                    


Aku tahu, rencana tidak pernah berjalan sesuai dengan ekpetasi manusia. Tapi beberapa mengatakan kita tidak boleh mengikuti arus. Mengalir seperti air. Terkesan seperti tidak punya pendirian. Namun beberapa lagi akhirnya membiarkan dirinya hanyut terbawa arus demi mendengarkan permintaan hati tentang apa yang sebenarnya dunia butuhkan dari mereka.

Aku tidak mengerti apa yang diriku butuhkan saat ini. Mimpi seperti apa yang seharusnya aku kejar. Tujuan seperti apa yang sebenarnya aku inginkan. Apa yang membuat hari-hariku begitu kelabu meski sinar mentari selalu menembus kamarku setiap pagi.

Aku melihat Esa. Tapi jiwaku mati untuk kesekian kalinya. Kupikir setidaknya aku masih bisa memiliki sedih sebagai rasa satu-satunya yang kupunya, tapi ternyata itu pun pergi dari hidupku. Aku hanya diisi kosong. Bertahun-tahun lamanya.

“Hei,” tegur Esa yang tahu-tahu sedang memperhatikanku. Kami berdua berakhir duduk berdampingan di halaman belakang rumahnya yang baru. Aku baru sadar hari telah malam karena lampu-lampu di taman mulai menyala dengan cahaya temaram. Ditemani suara gemericik air dari kolam ikan koi, bukankah ini sudah lebih dari cukup untuk menciptakan ketenangan?

“Lagi mikirin apa?” tanyanya ringan. Tapi terlihat cukup penasaran.

Aku termangu. Mendadak kehilangan bayangan. Melipat kaki sejenak untuk membalasnya dengan tatapan serupa.

“Memang kelihatannya lagi mikir, ya?”

“Selalu. Kamu selalu kelihatan berpikir dua puluh empat jam sehari tanpa jeda. Lagi mikirin apa, sih?”

Aku tidak menyangka Esa bisa mengatakan itu. Mungkin keanehanku sudah mulai cukup terasa baginya.

“Aku ngerasa aneh aja. Apa aja, sih, yang buat isi kepalamu itu penuh? Kalau sampai setebal buku, mungkin sudah jadi best seller, tahu! Mimpi kamu pengen jadi penulis, kan? jadi?”

Aku tertawa lesu. Tidak dapat menanggapinya dengan jawaban. Beberapa detik lenyap menguap dibakar waktu. Tapi Esa dengan gaya entengnya, menepuk-nepuk pundakku.

“Nggak perlu ada yang dikhawatirkan selama ada aku.”

Kemudian untuk memvalidasi perkataan itu, ia menautkan jemarinya dengan milikku. Menguncinya rapat-rapat.
“Lihat. Kira-kira berapa banyak orang yang sedang menginginkan hal-hal yang mereka belum miliki?”

Aku mengerjap bingung. “Maksudmu?”
“Berapa banyak orang yang lupa kalau kejadian hari ini akan mereka inginkan di suatu hari, di masa depan?”
Aku masih belum mengerti.

“Pertanyaanku terdengar sulit, ya? padahal itu hal yang sederhana. Begini, saat orang menargetkan sesuatu untuk mereka miliki atau yang sering kita sebut ‘mimpi,’ apa itu termasuk sebuah keinginan?”

“Iya.”

“Kalau misalnya, nih, semua keinginan kamu terpenuhi. Jadi penulis, kaya raya, karier cemerlang, dihormati semua orang, bisa beli bumi dan segala-galanya. Apa yang akan kamu lakukan?”

Aku berpikir, berharap menemukan jawaban yang masuk akal.

“Aku bakal berleha-leha. Nggak akan bekerja lagi. Menikmati hidup.”

“Nah! Simple, kan? padahal tujuan kamu sesederhana itu tapi kenapa harus jadi kaya raya dulu untuk bisa berleha-leha? Mau enjoy, enjoy aja. Mau pengangguran, pengangguran aja. Sebenarnya, kan, tinggal begitu.”

“Jadi maksudmu, biarpun miskin kalau tujuannya mau berleha-leha ya silahkan begitu, ya. Jadi beban keluarga silahkan …. begitu?”

“Bukan begitu sayang. Itu beda konteks. Maksudku, realita itu ternyata nggak semudah yang dibayangkan. Kalau mau jadi orang kaya tentu harus mau kerja keras, kan? Nah, terus, pas sudah jadi kaya, ternyata kamu harus berkolaborasi sama penulis yang lain untuk menciptakan karya. Terus butuh bibit-bibit baru penulis. Terus butuh tempat untuk memproduksi kegiatan itu. Belum pemasaran, belum marketing dan sebagainya yang membuat kamu mau nggak mau harus mendirikan perusahaan. Punya banyak karyawan, yang otomatis buat uang kamu makin gede. Kerja kamu ternyata juga harus makin gede. Ternyata kamu nggak bisa selalu berleha-leha, nggak bisa nggak kerja lagi atau menikmati hidup. Waktu kamu habis untuk mengolah uang yang kamu punya. Begitu.”

“Jadi kesimpulannya?”

“Ya seperti yang kubilang tadi: kalau mau enjoy, enjoy aja. Pengangguran, pengangguran aja. Toh selama hidup semua ini nggak akan pernah berhenti. Kita akan terus-menerus merasa capek, atau mungkin saja akan merindukan moment-moment kecil seperti ini. Kita nggak akan pernah persis berhenti seperti cerita fiksi yang happy ever after forever. Susah, senang, sedih, frustasi, bahagia, bakal terus berputar di papan roulette harian, dan tugas kita kebagian untuk menjalani hari-hari itu. Ya tapi mau bagaimana lagi? dijalani saja. Mau mulai dari miskin sampai jadi kaya, kek, kita bisa kapan saja menikmati hidup karena hidup … kita yang punya. Bukan orang lain. Jangan sampai ‘mimpi-mimpi’ menghalangi kita untuk merasa bahagia. Meski cobaannya berat.”

Esa tersenyum setelah menyelesaikan perkataannya. Ia menatapku dengan cara yang paling hangat sedunia sebelum mencoba meraih keningku untuk dikecup. Melampiaskan segala rasa getir yang sulit terucap oleh kata-katanya. Tapi jika boleh aku menilik jauh ke dalam hatinya, aku hanya menemukan kegelisahan ini. 

“Hidup nggak akan pernah benar-benar berakhir selama kamu nggak mengambil keputusan untuk mengakhirinya sendiri.”

***  

Hari-hari berlalu. Aktifitas kami masih seperti rekan kerja dimana aku sebagai sekretarisnya setiap pagi menyiapkan makanan untuk kegiatan anak-anak lalu menunggu Esa menjemputku dengan mobil pajero. Anak-anak sudah pada duduk manis di dalam mobil lalu menyapaku ceria meski paling terlambat hadir.

“Halo, Bu guru!!!”

“Halo anak-anakku. Sudah siap piknik?”
“Sudah!!!”

Aku tersenyum gemas melihat satu anak yang selalu terlihat bersemangat dan lucu. Rico. Kucoba mencolek pipinya dari samping kemudi karena semakin hari ia terlihat semakin tembam. Aku juga menawarkan diri pada Esa untuk menempatkan Nana di pelukanku.

“Tapi kita ke rumah Pak guru sebentar, ya,” cetus Esa saat memutar balikan setir. Anak-anak mengangguk sedangkan aku tidak mengerti.

“Kenapa?”

“Ada perlengkapan piknik yang harus dirakit dulu. Aku mau merakit bareng sama anak-anak.”

“Oh, oke. Perlu aku bantu?”

“Nggak perlu, sayang,” ujarnya dengan senyum yang melelehkan hati.

“Sayang ….?” Mendadak nada suara Esa diikuti oleh Ajeng dengan tatapan menelisik geli. Anak-anak menjadi penasaran karena hal itu.

“Kenapa bilangnya sayang?” tanya Ajeng dengan satu alis terangkat. Tersenyum- senyum nakal seperti orang dewasa.

“Ya karena Pak guru sayang.”

Rico terlihat berpikir keras sebelum menyatakan ketidakpahamannya melalui sebuah pertanyaan juga.

“Pak guru sama Bu guru mau menikah, jadi panggilannya sayang …. begitu?”

“Iya,” jawab Esa santai, seperti biasa. Sukses menghantarkan gamang kepada pemilik seribu pertanyaan tersebut.

“Berarti, nama Bu guru bukan Bu guru Noumi lagi, dong! Tapi Bu guru sayang!”

“Bukan!” Tato tiba-tiba menghardik. Gemas sendiri dengan kesimpulan asal-asalan yang dibuat Rico. Telinganya seolah panas karena selalu berada di samping Rico yang tidak pernah berhenti mengajukan pertanyaan-pertanyaan konyol di sepanjang waktu. “Kan Pak guru sudah bilang, dipanggil sayang itu karena pak Guru sayang sama Bu guru Noumi. Bukan Nama Bu guru Noumi diganti jadi sayang!”

“Eh ….” Aku lumayan terkejut pagi-pagi begini mendengar Tato bertutur kata dengan nada suara yang tinggi.

“Nggak boleh marah-marah begitu dong sama saudaranya sendiri, sayang. Kan ngomongnya bisa baik-baik.”

“Tuh, kan! Bu guru Noumi aja malah panggil kamu sayang. Bukan Tato!”

“IH! BUKAN GITU MAKSUDNYA!!! KAMU ITU NGGAK NGERTI, YA!!!”

“Tato ….!” panggil Esa sambil melihatnya melalui kaca kemudi. Entah mengapa anak itu seperti tengah terbakar emosi dilihat dari caranya menegaskan kata-kata dengan jari telunjuknya. Esa berkomunikasi singkat melalui tatapan mata. Sementara di sisi lawan, mendengar nada suara Esa yang sengau tadi, kedua matanya langsung berkaca-kaca. Merasa terluka telah dibentak Tato.

Suasananya jadi sedikit runyam dan sepertinya hal itu membuat Tato merasa terlihat seperti anak jahat. Jadi, ia pun mencetuskan untuk menangis lebih dulu.

“HEU!!!!!!”

Bingunglah kami semua. Tidak menyangka hanya karena lantaran kata ‘sayang’ menjadi perkara panjang. Tapi sepertinya Esa tidak berpikir demikian, jadi ia membawa mobilnya menepi di bahu jalan. Rico secepatnya mengurungkan niat untuk menangis juga karena ada perasaan getir yang tersirat di matanya saat tahu Esa akhirnya menengok untuk menatap Tato dengan ekspresi yang sulit untuk dimengerti.

“Diam.”

Ucapan itu sukses menciptakan ketegangan cukup tinggi dalam satu mobil namun hebatnya Tato masih bersikeras tidak mau terdiam. Dia menangis sekuat tenaga sampai-sampai Ajeng takut kalau-kalau Esa akan melakukan suatu kekerasan terhadapnya. Jadi, meski berada paling ujung dan harus melewati punggung Toto, ia mencoba menyentuh pundak Tato pelan dan membisikkan sesuatu yang sebenarnya masih bisa kami dengar dengan jelas. “Sudah, Tato. Nggak apa-apa, jangan nangis lagi, ya.” Dengan raut khawatir.

Esa masih menatap dengan konsisten dan menunggu anak itu lelah sendiri menangis. Sementara kami semua kecuali dia, masih terdiam membeku.

“Coba Pak guru tanya. Kamu kan yang membentak Rico. Terus kenapa malah kamu yang nangis? huh?”

Ia menangis lagi. Tapi jeritannya sedikit lebih pelan dari yang tadi. Esa berusaha menyingkirkan tangan kecilnya yang mengucek mata. Kemudian melanjutkan interogasi.

“Pak guru tanya, hei, ada masalah apa kamu sampai-sampai marah karena hal sepele begitu. Tadi malam kurang tidur, ya? Dipukul papanya lagi?”

Tepat setelah Esa menanyakan itu, Toto yang berada di samping saudara kembarnya tersebut malah gantian menangis. Aku jadi terbelalak. Esa mengangguk paham sebelum akhirnya kembali menjadi sosok aslinya yang lembut.

“Jadi siapa yang kena pukul, nih? Sini pak guru lihat.”

Tato menunjuk Toto masih sambil menangis.

“Toto aja yang kena pukul?”

Kemudian mengangguk dengan susah payah. Aku tanpa tahu kenapa, turut meneteskan air mata. Mendadak merasakan hal yang sama sakitnya dengan yang dirasakan Tato. Jadi sebenarnya anak ini rewel karena marah dan kesal saudaranya dipukul papanya sendiri lalu akhirnya melampiaskan perasaannya di sembarang tempat sebelum menangis untuknya agar Toto tidak terlalu merasa sakit sendirian. Ia ternyata punya cara sendiri untuk mengadu pada Esa. Dan syukurnya, Esa peka sekali untuk masalah seperti ini.

Ia mengulurkan kedua tangan untuk menggapai Toto. Menawarinya duduk di pangkuan dan memeriksa apakah di badannya ada luka memar atau tidak. Aku sempat bersyukur karena setelah di cek, tidak ada bekas apapun. Tapi Esa masih belum percaya.

“Sempat dipukul atau nggak?”

Toto mengangguk. “Di bagian mana?”

Kemudian ia memegang kepala dan bokongnya. Esa kembali mengecek itu dan menemukan luka lebam panjang pada bokong bocah tersebut. Kemudian menekan pelan di kepala bagian belakangnya.

“Akh!”

“Sakit?”

Ia tentu saja mengangguk. Terlihat sangat lemah.

“Kita ke rumah sakit sebentar, ya? Mau?”

“Nggak mau.”

“Kenapa?”

“Takut.”

Aku mengelap air mata dan sejenak mengelus kepalanya. Esa menghela napas dan terdiam beberapa saat. Masih sempat memberikanku tisu sebelum kembali menengok kondisi di belakangnya. Anak-anak seperti sedang siap-siap mendengarnya berbicara meski sebenarnya ia hanya berkedip dan bernapas saja. Memberikan tatapan peduli kepada Tato.

“Kamu itu sebenarnya capek karena kayaknya kurang tidur semalam. Tapi kalau beneran capek, energinya jangan dipakai untuk marah-marah, ya, Nak. Nggak baik.”

Esa mengusap pucuk kepalanya dengan lembut sebelum beralih memberi penjelasan kepada Rico.

“Sudah. Kamu juga jangan sedih. Tato marah bukan karena kesal sama kamu, tapi karena Toto sedang kesakitan. Orang yang sedang kecapekan atau sakit biasanya sensitif. Jadi, kita harus bisa toleransi sedikit, oke? Boleh, kan?”

Rico dengan hebatnya langsung mengangguk. Mengusap air matanya yang akhirnya menitik dengan tangguh. Ia menjulurkan kepalanya ke arah Tato untuk memastikan keadaannya baik-baik saja.

“Aku minta maaf, ya. Kamu nggak apa-apa, kan?”

Tato mengangguk. Kali ini juga merasa sangat bersalah kepada Rico. “Aku juga minta maaf, ya. Sudah marah-marah sama kamu.”

Layaknya orang dewasa yang mengerti seluk-beluk kehidupan, tangan gendut anak itu memegang kepala Tato untuk dibawanya bersandar pada pundaknya.

“Iya, nggak apa-apa. Jangan nangis lagi, ya.”

Aku tercengang meski Esa terlihat seperti sudah terbiasa. Ia malah menyarankan Ajeng untuk melakukan hal yang sama. Akhirnya selama di perjalanan, mereka bertiga tidur dengan pose saling berpelukan.

***

Dream First ClassTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang