19. Ayo, apa lagi rahasiamu

2 0 0
                                    


Keesokkan harinya, ia mengajakku membahas perihal kontrak kerja yang akan kami sepakati bersama di sebuah café. Seorang kasir tampan bercelemek hitam gaya barista mewakili kearifan tempat itu. Richie. Ia kali ini menyapaku dengan menyebutkan nama, bahkan tersenyum lebar seperti telah bertemu teman lama.

“Hai, Noumi.”

“Hai,” jawabku malu-malu sambil menunjukkan telapak tangan yang digoyangkan pelan. Ada buntut di belakang kepalanya. Entah sejak kapan surainya jadi begitu panjang. Aku hampir tidak mengenalinya tadi karena sebelumnya sempat memberitahu kalau akan ke sini sore hari.

“Kapan hari kami pernah bertemu di tempatku bekerja. Noumi belum cerita, ya?” tanya Richie secara terbuka untuk memberitahukan Esa yang sepertinya sempat memperhatikan kami dengan tatapan curiga.

“Kamu sama temanmu waktu itu, bukan?” Kali ini memastikannya kepadaku. Esa merespon lebih cepat.

“Teman?” lalu tanpa sengaja menuntut pembenaran dariku.

“Iya. Temannya mungil banget. Cantik, sih. Tapi tingginya hanya semampai.”

“Oh .…” Esa mengangguk paham seperti terlihat lega, sedangkan aku merasa tersinggung mendengar temanku sendiri dikatai begitu diantara perbincangan pria.

“Kamu belum dikasih tahu?” tanya Richie pada Esa yang entah mengapa bisa membuatku merasakan kuat aura ekstrovertnya dengan kedua bola mata yang selalu berbinar tersebut, padahal kalau sedang di chat, jawabannya selalu sekenanya. Esa sendiri hanya bergeming sambil mengeluarkan dompet di saku belakang.

“Sudah… dia bahkan minta nomor telfonmu walaupun sudah dapat nomor Whatsaap. Kenapa kamu nggak kasih langsung, sih? kalian kan pasti sempat chatting-an kemarin.”

Aku mengartikan seperti itu saat mereka tengah berbicara menggunakan bahasa Sasak. Dan tidak mengerti alasan mengapa pemuda bertubuh jangkung ini harus memberi solusi dengan nada kesal begitu, meski yang diberitahu hanya menyengir lebar.

“Hehe, sudah bro. Jangan emosian begitu, lah. Ayo! pada mau pesan apa?”

Lalu entah mengapa gaya bicaranya diubah menjadi gue-lo khas orang Jakarta. 

“Bukan emosi .… ini Cuma bingung karena nggak bisa bedain mana orang, mana kuda, bro. Kenapa rambut lu pake dikuncir segala kayak orang habis disalon begitu?”
Akibat gubrisan ceplas-ceplos itu membuatku tidak tahan menahan tawa. Richie pun ikut tertawa.

“Mau nyalon jadi Walikota, bro. Biar semua orang di café ini bisa gue bagiin roti dan coffe gratis! tis!” serunya dengan merentangkan tangan seperti ingin terbang. Aku tidak tahu bagaimana dua orang ini mampu menggabungkan ketidaknyambungan ini menjadi kelucuan yang hakiki. Namun yang pasti, fantasi-fantasinya Richie sedang bertebaran di udara namun dalam waktu singkat pula, Esa mampumengacaukannya.

“Seenaknya lu bambang. Buat café sendiri dulu baru belagak jumawa.”

“Eh—”

“Sudah! gue es Americano satu. Kamu apa?” tanyanya padaku sementara aku sedang me-loading sebuah kenyataan bahwa, ‘jadi café ini bukan punyanya Richie?’ kepada Esa dan Richie entah mengapa mengalami hilang fokus untuk beberapa saat.

“Bro, di sini mana ada Americano.”

***

“Ini bukan cafenya Richie?” tanyaku sesaat setelah mendaratkan bokong di salah satu sofa empuk dekat pintu kaca yang besar dan dapat di geser jika ingin duduk di bangku tinggi balkon yang langsung menawarkan suasana kota. Tempatnya di lantai dua yang rasanya lebih nyaman untuk dipakai mengobrol serius tentang pekerjaan atau sekadar mengerjakan tugas kampus. Bahkan ada meja utama yang telah diisi oleh orang-orang yang berdiskusi menggunakan tablet dengan gaya pakaian semi-kasual. Terlihat seperti tengah bekerja dalam pengembangan website dan copy writing.

Dream First ClassTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang