32. Pelukan hangat Jeeva Beloam

1 0 0
                                    


Suasana hatiku berubah beberapa menit lalu. Yang tadinya ingin menjauhi manusia dan terbebas dari sinyal, kini malah menginginkan hal itu. Kamarnya kuperhatikan begitu besar dengan satu big bed di tengah-tengah ruangan. Lampunya temaram dan banyak sudut-sudut gelap. Belum lagi kamar mandinya yang berada di belakang ranjang, membuatku takut tidur sendirian. Tidak ada TV. Tidak ada sinyal. Sementara keadaanku kini jika sendiri akan sangat membahayakan. Lebih-lebih lagi aku lupa bawa obat antidepresan. Ingin menelpon dokterku, lagi-lagi terhalang sinyal.

“Cara dapatkan sinyal di sini bagaimana, ya?”

Orang-orang minum kopi dan berbicara, tapi suaranya seperti segerumbul lebah yang berdengung. Aku seperti tenggelam dalam cemas yang membuat asam lambungku naik. Untungnya pramutamu yang tadi menyahutiku.

“Di atas bukit beloam. Ada apa, Mbak Noumi?”

“Bisa kita ke sana sekarang?”

Pak Ridwan selaku pramutamu yang sejak tadi menemaniku, kini menawarkan tangan untuk digenggam. Ada Bu Susan sebagai salah satu pramutamu juga, turut menemani kami menanjak bukit. Karena jalannya menanjak, aku harus berpegangan tangan dengan Pak Ridwan sementara Bu Susan bisa berjalan sendiri karena terbiasa. Di langit, aku melihat senja mulai larut membuat perasaanku semakin kalut.

“Masih jauh, pak?” tanyaku, getir. Pak Ridwan malah menjawab kalem.

“Sebentar lagi, Mbak.”

“Tenang, dek. Kan ada kami di sini,” sahut Bu Susan yang tak mengerti alasanku gelisah. Sementara aku menengok sedikit ke bawah untuk melihat sosoknya.

“Iya, bu. Maaf, ya, sudah merepotkan.”

Bu Susan tersenyum simpul. Terkekeh-kekeh.

“Ndak apa-apa. Kan ke sini tujuannya mau relax. Menikmati pemandangan. Jangan cemas-cemas begitu, dong. Kan sayang.”

“Iya, bu,” jawabku. Mencoba menutupi rasa cemas, namun Pak Ridwan menyela.

“Namanya orang sakit depresi. Mau bagaimana santai tempatnya, kalau cemas ya tetap cemas.”

Bu Susan jadi terkejut. Ia bahkan menutupi mulutnya dengan tangan. “Oh! Mbak Noumi ini depresi juga?!” tanyanya pada Pak Ridwan. Aku mengangguk canggung. Entah mengapa merasa sangat tidak nyaman dibicarakan begini. Tapi, juga? siapa lagi memangnya yang mengidap penyakit ini?

“Juga? Pak Ridwan sakit ini, juga?” tanyaku penasaran. Dengan raut wajah datar namun sarat akan kepedihan, Pak Ridwan menjawab, “andai saja saya yang kena penyakit ini, Mbak. Mungkin anak saya nggak jadi meninggal.”

“Hah!” pungkasku, terkejut. Melakukan hal yang sama seperti Bu Susan tadi. Menutup mulut dengan tangan. Asam di lambungku semakin bergejolak. Pak Ridwan melangkahkan kaki dengan berat hati, sementara tatapannya terfokus pada puncak bukit yang mulai terlihat.

“Anak perempuan saya bunuh diri tujuh tahun yang lalu karena depresi. Saya ndak tahu apa-apa selain dia sering ngeluh katanya badannya lemas. Kepalanya sering sakit tapi ndak pernah mau minum obat. Kerjaannya seharian di kamar. Tidur. Lama-kelamaan saya panggil buat makan …. ternyata nggak bisa bangun lagi. Ternyata dia overdosis obat tidur.”

Hatiku mencelos. Terasa tercabut dari cemas. Menemukan kisah pilu Pak Ridwan, menyadarkanku bahwa senyuman seringan kapas tersebut tak selamanya dibawa tanpa beban.  

“Mangkanya Mbak Noumi jangan sampai begitu, ya. Kasihan orang tuanya nanti. Saya saja masih sedih sampai sekarang. Mungkin akan berlangsung seumur hidup.”

Air mataku menetes. Mendadak merasa perbuatanku sekarang sia-sia. Mendengar kalimat diakhir Pak Ridwan, penyesalannya jadi tersalur berkali-kali lipat lebih besar kepadaku.

“Eh, jangan nangis, Mbak Noumi. Kita sudah sampai.”

Aku mengangguk. Sejenak terpana melihat wujud laut yang indah dari tempatku berpijak. Tapi aku harus menelfon dokterku. Aku pun melepaskan tanganku dari Pak Ridwan. Mengelap air mata di pipi sejenak. Melangkahkan kaki lebih jauh dari keduanya yang mulai mengobrol.

“Namanya siapa?” tanyaku sendiri saat mendadak lupa nama dokter psikiaterku. Aku mengeluarkan ponsel dalam kantong, mengetik namanya pada panggilan kontak setelah berhasil mengingat. Kutunggu beberapa detik. Suara operatornya mengatakan, ‘nomor yang anda tuju tidak dapat dihubungi. Cobalah beberapa saat lagi.’ Terus seperti itu sampai sepuluh menit berlanjut.

“Sudah, Nak?” tanya Bu Susan. Aku menggeleng gusar.

“Belum diangkat,” tukasku, sebagai alasan bisa menelfon terus. Matahari sudah terbenam dan malam mulai nampak. Kami harus segera turun jadi Bu Susan menyarankan untuk lebih ke kiri atau ke kanan, atau mengangkat lebih tinggi ponselnya agar dapat sinyal. Namun hasilnya nihil. Aku sampai frustasi dibuat.

“Coba telfon yang lain selain itu, Nak,” kata Bu Susan menyarankan. Aku sebenarnya sudah memikirkannya sedari tadi namun sangat sulit untuk mengambil keputusan tersebut.
Telfon tidak, ya?

Tak lama, mataku terbelalak. Melihat kekuatan sinyalnya tinggal sebiji. Mau tak mau aku langsung mengeluarkan nomor Esa dari daftar blokir lalu menelfonnya cepat tanpa berpikir apa yang mau dikatakan nanti. Jantungku berdebar sembari menunggu bunyi tut …. panjang. Lalu tanpa dinyana, seseorang di sebrang telfon mengangkat. 

“Halo.”

Membuatku terperangah. “Esa!”

“Noumi, kamu di mana?”

“Aku di—tut….”

Sambungan terputus. Sial. Aku meringis.

“Sini, Mbak. Bapak goyang-goyangkan hpnya.”

Sejenak setelah kuberikan Pak Ridwan menggoyang-goyangkannya, dan membuat kami bertiga berputar-putar di puncak bukit demi mencari sinyal, telfon tersambung lagi.

“Halo!” kata Pak Ridwan sebelum mengaktifkan mode speaker.

“Iya, halo.”

“Ini di Jeeva Beloam, Nak. Jeeva Beloam Beach—”

“Bagaimana?”

“Jeeva—tut….”

Mati lagi. Kali ini, kami sudah sampai berputar-putar seratus kali pun telfonnya tidak juga mau tersambung lagi. Aku terduduk lemas.

***

Menangis. Aku menangis terseguk-seguk dipinggir pantai sendiri. Memeluk kedua kaki dan membenamkan wajah di lutut selama sekitar dua setengah jam. Pak Ridwan punya kesibukan dan tanggung jawab lain selain mengurusku pun, masih sempat-sempatnya menyuruh orang lain melihatku menangis dari kejauhan. Mungkin ia ingin berjaga-jaga seandainya aku terseret ombak atau malah berinisiatif melakukan hal itu.

Aku tak punya tenaga. Tapi aku takut jika diseret ombak ke tengah laut lalu meninggal di sini. Seluruh persendianku terasa sakit dan nyilu seperti saat aku dislokasi waktu itu. Esa …. Dikepalaku hanya ada namanya disepanjang hari. Tak peduli seberapa jauh kumelangkah pergi, nama dan parasnya di otakku tidak pernah menjauh. Ternyata aku rindu berat padanya sampai-sampai tidak sadar bahwa sendalku hilang sebelah. Begitu menyedihkan. Kondisi ini menindas mentalku sangat parah. Bahkan rasanya seperti nyaris hilang kesadaran, sedetik setelah tergeletak di pasir putih pantai tersebut. Aku terpejam.

“Noumi ….!”

….

….

“Noumi ….!”

Aku nanap dari tidurku. Membelalak ketika bersusah payah membangunkan diri. Melihat samar-samar seseorang dari tempat restaurant camp berlari menghampiriku.

“Esa!”

Ia memelukku, segera setelah berhasil menghampiri dengan tergupuh-gupuh. Aku terlonjak, kaget. Namun tak ambil pusing untuk membalas pelukannya kuat-kuat.

“Kamu nggak apa-apa, sayang?”

Aku jadi mengaum berderai tangis bagai singa betina kehilangan anaknya. Merasa terkutuk setelah merasakan bagaimana hangat dan amannya pelukan laki-laki ini ditubuhku.

“Maafin aku, Esa. Maafin aku.”

***

Dream First ClassTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang