64. Sky diving

3 0 0
                                    


Esa mengepak pakaian seadanya. Ia memasukan baju dan celana panjangnya secara serampangan ke dalam koper. Aku yang bersandar pada kusein pintu, yang sudah siap pergi dengan berpakaian rapi dan cantik, langsung tergerak untuk mendekat, membantunya mengeluarkan baju-baju itu kembali untuk dilipat. Ia menunggu dengan sabar di sampingku sementara aku berusaha tersenyum sambil mengusap pipinya.   

***

Hari H menuju kematian.
Bandara Nusawiru, Kecamatan Cijulang, Kabupaten Pangandaran, Jawa Barat.

Pukul 08.30, Esa memasangkan goggles padaku setelah dirinya selesai memakai jumpsuit. Perlengkapan untuk olahraga berbahaya ini sudah disiapkan oleh tim manajemen NSW Paracenter, namun entah mengapa ia lebih memilih untuk membeli semuanya sendiri. Dan itu tidak murah.

“Kenapa nggak sewa aja, sih? Kan kita pakainya sekali.”

Esa mengancingkan helmnya dengan erat. Lalu menghela napas sambil menaruh tangan di pinggang. “Aku sih, sekali. Tapi apa iya kamu hanya sekali?”

“Maksudmu aku ada kemungkinan akan balik ke sini lagi?”

Esa tidak mengangkat alis, namun aku mendengus ke samping.

“Mana mungkin. Bisa jadi aku malah trauma berat. Lagian olahraga ini tingkat bahayanya sudah tinggi. Bisa apa aku kalau ikutan mati?”

Jujur, sebenarnya aku masih merasa sedang bermimpi. Perkataanku barusan saja terasa tidak nyata. Tapi entah bagaimana caranya tahu-tahu kami sudah ada di sini. Sudah terbang jauh-jauh dari Lombok selama beberapa jam dan memilih hotel untuk semalam dan paginya langsung meluncur ke tujuan. Sudah memakai peralatan untuk terjun payung dengan lengkap, bahkan sudah diinstruksikan untuk memasuki bandara dalam 20 menit kedepan pula.

Kami sudah siap, tapi dalam benakku mengatakan bahwa ini terlalu cepat untuk dilakukan. Kenapa tidak ada salam perpisahan? Kenapa semuanya berjalan seperti hari-hari biasa? Seharusnya Esa memberitahukan kepada orang lain bahwa ini adalah hari terakhirnya sehingga orang-orang bisa setidaknya memberikannya pelukan perpisahan dan kata-kata indah. Pikiran itu terus berputar dalam kepalaku dimenit-menit terakhir sebelum kami menaiki pesawat Dornier 28. Rasa gugup itu sampai membuat wajahku menjadi pucat pasi hingga Esa menjadi khawatir padaku. Aku menunduk memegangi lutut di tengah-tengah bandara. Melepaskan genggaman Esa ketika pesawatnya sudah di depan mata.

“Kamu nggak apa-apa, kan?”

Aku bingung. Perut ini rasanya sangat mual dan ada keinginan untuk muntah. Tapi herannya isi perut tidak kunjung keluar meski sudah kupaksa supaya rencana ini gagal total.

“Kamu hamil?”

Bisa-bisanya. Tekanan darah terasa langsung melonjak naik. Aku mendongak untuk melihat wajahnya yang dengan sulit menengokku. Menatap dengan sinis.

“Jadi kamu pernah berbuat denganku tanpa sepengetahuanku?”

“Bagaimana caranya?”

“Nah itu dia? Kita mabuk saja nggak pernah, kan?”

“Kamu jangan marah, dong. Terus sekarang aku harus bagaimana? Pesawatnya sudah siap di sana. Kita harus naik, Nom.”

“Kamu bisa bilang sama pilotnya atau siapalah itu, buat matikan mesin pesawatnya sekarang?”

“Hah ….? Mana bisa!”

Aku memejamkan mata.

Mengendalikan pusing yang merajam penalaranku sekarang. Perlahan mencoba berdiri dengan tegap untuk membuka helm yang membuat pengap. Menatap sang lawan yang sepertinya sedang baik-baik saja, nol stress menghadapi serangan panik sepertiku.

“Aku boleh mengumpat?”

Meski bingung, dua detik kemudian ia langsung gantian memejamkan mata. Mengapitkan kedua bibir untuk mengangguk kecil.

“Boleh,” ujarnya ikhlas.

Aku mengangguk. Ia sudah mengizinkan, berarti ia benar-benar ingin pergi. Aku berusaha mengumpulkan sisa-sisa tenaga. Berusaha menahan sedih yang membumbung di dada meski air mata menyembul mengaburkan pandangan.

“Bajingan gila,” kataku pelan. Menatap tepat di irisnya yang membuat tubuh itu tak berani bergutik. Jika tidak bisa menembus ulu hati, setidaknya itu bisa menyentuh kesadarannya. Sedang di mana dan untuk apa ia sekarang. Namun umpatan itu sepertinya malah diterima dengan baik karena ia mengangguk lagi dan membiarkanku mengeluarkan uneg-uneg semendadak ini. Sambil menangis, aku memukul dadanya.

“Seharusnya kamu nggak pernah datang ke hidup orang lain kalau mau mengakhiri semuanya dengan cara pengecut seperti ini!”

Baru kali ini ia berani menatap mataku cukup lama. Seolah mengatakan tidak ada lagi keraguan dalam dirinya.

“Seharusnya kamu bilang: aku pergi dulu, ya, Noumi. Kamu jaga diri baik-baik. Jangan lupa makan. Jangan lupain aku meskipun aku nggak bisa lagi sama kamu. Jangan sedih berlarut-larut. Jangan sakit.” Aku menjeda perkataan untuk menghirup cairan yang terasa jatuh dari lubang hidung. “Jangan berhenti percaya kalau nanti akan ada pria yang bisa mencintai kamu lebih baik dari pada aku. Kamu akan bahagia di mana pun kamu berada. Tanpa aku.

SEHARUSNYA KAMU BILANG BEGITU!”

Esa mendekat. Menempelkan kepalanya denganku. Menunduk. Melihat ujung sepatu kami yang saling bertemu persis seperti pertama kali kami terjebak hujan di pinggir ruko kosong waktu itu. Melihat petir besar menyambar tiang listrik tanpa adanya kebakaran, dan mendengarkan suaranya yang begitu jernih seperti bunyi gemericik air.

“Aku nggak pernah percaya bisa menghabiskan waktu sebanyak ini dengan orang lain,” katanya saat menyentuh suraiku dengan lembut. Mencium keningku dengan penuh rasa syukur.

“Makasih sudah menangis untuk aku, ya. Kamu buat aku merasa seolah kamu milikku.”

Mendengar itu membuatku semakin keras menangis. Aku langsung menariknya lebih intens. Melingkari lehernya dengan pelukan erat.

Mengaum dengan lengkingan lirih. Ingin memberitahukan dunia bahwa orang ini akan mati dan hanya aku satu-satunya orang yang tahu rahasia itu.   

“Dua tahun bukan waktu yang singkat buat mengenal kamu. Tapi terlalu singkat untuk mengetahui sisi busuk seseorang. Dan tidak memilih untuk meninggalkan, menurutku itu adalah sikap yang benar-benar mulia. Aku nggak punya pesan khusus. Aku tahu kamu perempuan kuat yang bisa menjalani hidup dengan baik. Tapi kalau aku boleh ngomong, tolong jangan pernah berpikir untuk mengakhiri hidup seperti aku, ya. Kejar semua mimpi-mimpimu dan berbahagialah sampai waktu dijam pasirmu habis. Dan terima kasih sudah selama ini mendengarkan semua nasihatku meski tidak bisa bekerja dengan baik di diriku sendiri. Aku nggak pernah menyesal sudah kenal kamu dan jatuh cinta. Aku percaya kamu akan selalu menjadi wanita yang tepat untuk diberikan cinta sebanyak-banyaknya oleh orang yang berada disampingmu nanti. Dan I love you, Noumi. Aku benar-benar cinta mati sama kamu. Jadi jangan pernah lupa itu. Oke?”

Kami mengendurkan pelukan. Ia langsung menyambutku dengan kecupan di kening, pipi, dan bibir. Melihatku dengan prihatin meski sambil mengusap sisa aliran air mata.

“Sudah jangan nangis lagi, ya. Ayo!”
Ia menggaet tanganku namun aku menariknya lagi. Membuatnya berbalik dan bibirnya langsung menubruk bibirku. Tanpa pikir panjang aku langsung mendekap kehangatan bibir itu dalam bibirku pula. Memagut. Meraba belakang kepalanya untuk membiarkan bagaimana caranya lidah kami bermain untuk melepaskan rindu. Aku pasti akan merindukan perasaan ini hingga tak sadar bahwa Esa sudah melepaskan tautannya. Membuatku dengan canggung meletakkan kembali tumit yang sempat menjinjit. 

“Kita harus segera naik, Nom.”
Aku menunduk sedikit malu sambil mengusap mata sendiri.

“Iya,” kataku yang terdengar bindeng. Namun Esa dengan cepat meraih tanganku kembali untuk dituntun masuk ke dalam pesawat kecil tersebut. Tak lama, dengan segenap hati yang ikhlas, bergandengan tangan tak jemu-jemu sambil memanjatkan doa, benda tersebut akhirnya membawa kami lepas lendas menuju langit yang maha luas.


*** Tamat ***

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 10, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Dream First ClassTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang