Hari ini kegiatan belajar mengajar selesai. Anak-anak sudah tertawa, menangis, dan belajar banyak hal melalui bermain. Perut mereka bahkan sudah cukup terisi dengan buah-buahan dan makanan bergizi sebelum diantar pulang oleh Esa seperti biasa setelah bergiliran mengecup pipi dan keningku. Suara kompak yang berkata “dadah” kepadaku sambil melambaikan tangan, perlahan pudar dikejauhan malam.Aku terpaku. Kesadaran melayang. Mendadak merasa letih disekujur tubuh. Lesu. Kupikir banyak tertawa tadi dapat membuat suasana hatiku membaik. Nyatanya tidak. Tidak sama sekali. Jadi aku berusaha mengingat hal apa saja yang berhasil membuatku tertawa, dan itu membuatku tertawa lagi. Dengan cepat kututup kamar Esa. Menaruh kunci di bawah keset welcome-nya sebelum bergegas masuk ke dalam kamarku.
Aku menghempaskan diri ke atas kasur. Memijat tengkuk dan pelipis dengan satu tangan lalu membiarkan resah menganggu ketenanganku sebentar. Kubawa tidur. Tenang. Setidaknya untuk beberapa menit sebelum kulihat lampu berkelap-kelip yang padahal tadi tidak kunyalakan. Tubuh mulai tertarik cepat ke bawah dan aku terbangun. Tidak bisa bergerak.
Oh, sial. Padahal ada seseorang di luar sana tengah mengetuk pintu sambil memanggil namaku sementara bibir ini tidak mampu mengeluarkan suara untuk menyahut. Aku berusaha duduk di atas tubuh sendiri namun saat menengok ke belakang, ragaku masih terlentang.
Ini ketindihan lagi.
Begitulah perlawanan yang terjadi kira-kira selama lima belas menit sampai akhirnya aku benar-benar terbangun dengan tubuh sendiri. Ngos-ngosan dengan debaran jantung yang begitu cepat juga dengan cucuran keringat di dahi. Kuambil ponselku yang bergetar. Mimpi tadi ternyata hanya sebuah panggilan telfon dari Esa.
“Halo.”
“Hai.”
“Sudah tidur?” Nadanya lembut sekali. Hatiku dibuat mendadak tentram.
“Hm. Baru bangun.”
“Oh, maaf. Lanjut tidur saja.”
“Nggak. Nggak apa-apa, kok. Aku sudah nggak bisa tidur lagi.”
“Kenapa?”
“….”
“Karena sudah bangun.”
Esa terdiam sebentar mungkin karena mendengar jawabanku ada benarnya juga.
“Ada apa,” lanjutku. Melirik jam yang menunjukkan pukul tujuh. Memang masih terlalu dini untuk tertidur.
“Begini ….” awalan ceritanya cukup membuatku gugup sendiri.“Richie barusan telfon aku. Katanya dia sakit. Sakitnya ya sakit biasalah. Tapi dia mau cuti tiga hari buat istirahat.”
“Oh …. kukira apa. Terus?”
“Selama tiga hari ini nggak mungkin dong café-nya ditutup. Terpaksa, aku yang harus gantiin.”
“Hm, begitu. Tapi, anak-anak?”
“Nah itu dia. Aku minta tolong Kamu yang handle sendiri bisa, nggak? sementara dalam beberapa hari ini aku usahain buat nambah orang lagi di café, biar Richie nggak kuwalahan.”
“Ah.”
Sejenak, empat orang anak manusia yang sedang muntah teringat jelas dibenakku. Minus Nana.
“Bisa, kan?”
Mau tidak mau aku harus berkata iya. Ini masalah pekerjaan, dan pembayaran sudah dimuka pula.
“Hm. Kalau begitu sebentar aku atur kegiatannya dulu.”
“Kalau bingung bisa telfon aku kapan saja, kok. Jangan pusing-pusing sendiri, oke?”
KAMU SEDANG MEMBACA
Dream First Class
Misterio / SuspensoKita tidak cukup kompatibel untuk membuat anak-anak tumbuh dengan rasa aman dan nyaman. Selalu ada kejadian dimana anak-anak merasa trauma akan sesuatu dan akhirnya mereka akan tumbuh bersama itu. Bahkan anak yang tidak broken home sekalipun bisa sa...