48. Penyesalan

0 0 0
                                    


Petir menyamba-nyambar. Hujan deras berderai bersama air mata yang tak kunjung berhenti mengalir di pipi. Aku memeluk anak-anak dalam keadaan basah kuyup oleh keringat dan air mata sendiri—meringkuk duduk di atas lantai marmer yang dingin.

“Pak guru …. Pak guru ….”

Mereka terus menangisi Esa yang telah angkat kaki dari rumahnya sendiri sekitar lima belas menit yang lalu. Meninggalkan kami semua dalam kondisi mental yang tidak baik. Tak lama, beberapa saat kemudian, kami mendengar bunyi alat-alat melayang dan terbentur di dinding dari balik pintu gelap Olin. Aku segera menggeser tubuh anak-anak ke samping untuk lekas berdiri.

Mendekat dengan ketakutan yang terasa pekat namun lantang menggebrak pintu itu secara lebar-lebar.

“Astaga! Olin!”   

Kulihat dengan mata kepala sendiri anak itu duduk mepet berhadapan dengan dinding bersama kursi roda tengah membentur-benturkan kepalanya sendiri yang masih di bungkus perban.

“Olin! Olin!”

Jantungku tak habis-habisnya terkejut. Segera kusingkap leher dan pundak anak itu sambil menarik mundur kursi rodanya. Ia menengadahkan kepalanya seperti gerakan kejang-kejang sebelum kembali menatapku lurus yang berlutut panik di hadapannya.

“Astaga, nak. Kamu ngapain, sayang…?!”

Mukanya dibanjiri air mata namun tatapannya dingin. Aku memeriksa untuk memastikan tidak ada luka tambahan di tubuhnya ketika melihat beberapa miniatur dan vas bunga pecah dari lemari laci kayu Jati. 

“Kamu nggak apa-apa, kan? Kepalamu sakit?”

Ia menggeleng kemudian air matanya tumpah lagi ketika berkata dengan terbata-bata.

“HA-a-a-ak a-a-ahu ma-na? Ha-a-kak Li-i-ci?”

Ketika itu pula aku langsung menangis. Tidak menyangka mendengar suara dan perkataannya untuk pertama kali.

“A-a-a-hu, Ma-a-u, he-te-mu, di-a-a. To-o-long.”

Aku mengangguk dan langsung mendekapnya dengan kuat. Kalau saja saat itu aku berbuat sesuatu, Richie tidak mungkin terbunuh oleh sahabatnya sendiri. Coba saja aku tidak berinisiatif pergi ke club saat itu, mungkin sekarang aku tak harus ikut merasakan bersalah yang teramat dalam. Coba saja aku tak kenal Esa dari awal. Sudah pasti masalahnya tidak akan serumit ini. Coba saja dulu aku tidak menentang Ayahku untuk pergi dari rumah. Mungkin sekarang aku tidak menangis di ruangan sepi dengan seorang anak bernasib malang dengan perban di kepalanya begini. Dan malam itu, semua anak menangis tanpa terkecuali.

***

3 hari kemudian.

Aku menelfon Esa setelah kejadian itu namun hingga detik ini ia tidak pernah sekalipun mengangkatnya. Pikiranku mulai berkelindan kalau mengingat itu lagi. Ada korban di hari ia melarikan diri. Jika aku memilih diam dan seandainya ada sesuatu yang terjadi, apakah hal itu akan menjadi kesalahanku? Tidak lagi. Untuk saat ini, perasaan bersalah atas Richie sudah cukup membuatku panas dingin setiap malam.

Kikuk

Suara kikuk burung terdengar dari ponselku. Aku terkejut ketika kubuka ternyata pesan masuk dari Esa.
Aku sedang di café, lantai atas. Tidak membunuh siapapun. Terima kasih sudah mengkhawatirkanku.

***

Aku berdiri di depan café tersebut. Menatap papan tempel pada pintu kaca yang bertuliskan closed, sembari memeriksa ponsel tentang pesan yang terlambat masuk dari orang yang sama.

Jangan ke sini.

Ingin kujawab, “tidak bisa, bodoh. Aku sudah di depan.” Namun tidak jadi karena jelas aku takut setengah mati padanya. Dalam perjalanan tadi aku sempat berpikir mungkin ini adalah jebakan. Bisa jadi ia merencanakan sesuatu untuk memancingku kemari lalu sesuatu yang tidak diharapkan berkesinambung. Namun entah mengapa setelah melihat pesan terakhir membuat rasa curiga tadi memudar, ya? Persetan. Aku melangkahkan kaki ke dalam.

***

Waktu itu ia mengajakku melihat lantai atas cafenya ketika malam. Suasananya enak. Tapi aku tidak pernah menyangka saat pagi ruangan dan balkon itu terasa seperti hotel di Bali. Esa menggelar tikar bermotif suku Hindia di tengah balkonnya yang sejuk. Menikmati tiupan angin sepoi yang mengipas bunga-bunga mawarnya disepanjang relling. Aku melihat kakinya bergoyang-goyang saat ia tengah merebahkan diri dengan posisi menyamping. Ketika sudah mendekat, ternyata ia sedang memejamkan mata.

Karena suara anginnya cukup menderu, sebisa mungkin aku tidak membuat suara saat ikut tidur menyamping—berhadapan dengannya. Manusia manapun pasti bisa merasakan ada kehadiran seseorang jika sedang sendiri, dan itu yang terjadi padanya saat ia membuka mata secara perlahan lalu menemukanku tepat di hadapannya.

“Hai.”

“WAAA!!!”

Ia terkejut bukan main sampai terduduk. Matanya spontan melotot sedangkan tangan memegang dada sendiri. Aku berdecak kesal.
 
“Biasa aja, kali. Aku bukan setan!”
Ia pun mengatur napas saat jiwanya sudah kembali. Memposisikan kaki sendiri untuk bersila.

“Siapapun yang digituin pasti kaget lah,” cetusnya kesal. Mendengus sambil menggeleng-geleng.

“Lagian kamu ngapain, sih, ke sini?”

“Ya kamu sendiri ngapain tidur di sini?”

Ia mencerna sebentar dengan mulut menganga. Kalau bahasa kekiniannya bisa dibilang ia sedang nge-lag.

“Ya ngapain, kek. Suka-sukaku.”

“Keripik singkong?”

“Hah?”

“Kusuka maksudnya.”

“Oh,” balasnya terlambat lagi sebelum menambahi. “Aku nggak suka.”
Membuatku tertawa.

“Aku juga.”

Ia melihatku dengan aneh saat tertawa sendiri hingga menepuk pahanya. Menggaruk tengkuk dengan kikuk bagai suara burung pada notifikasi ponselku. Ia membiarkan saja hal ini terjadi secara percuma sampai aku lelah dan berhenti sendiri. Tak lama kemudian, dengan raut cemas ia menempelkan punggung tangannya ke keningku.

“Nggak panas, kok,” katanya. Langsung kutepis dengan mulut manyun.

“Aku nggak sakit tahu. Aku nggak gila! Udah, ah,” sergahku sambil beranjak dengan mulai mengangkat bokong. Esa malah mencegat.

“Mau ke mana?”

“Mau balik. Kan kamu nggak suka aku di sini.”

“Nggak apa-apa, kali. Di sini aja kalau kamu mau.”

“Ya aku nggak mau.”

Ia nge-lag lagi. Tidak punya persiapan atas jawaban seperti itu.

“Nggak, deh. Bercanda,” ujarku sambil cengengesan. Ia jadi kembali tenang. Mendadak memandang jauh ke depan sampai matanya menyipit. Aku jadi tak sengaja memperhatikan fitur wajahnya yang tegas. Sekilas ia mirip Park Seroyi dalam drama Itaewon Class yang diperankan oleh Park Seo jun. Sifat kakunya juga agak mirip. Pola tidur yang berantakan juga.

“Jadi, gimana? Apa yang sudah kamu pikirkan selama 3 hari ini?”
Ia tidak segera menjawab. Hanya termangu kosong.

“Nggak ada,” cetusnya sesuai dugaan. Menunduk untuk mengusap surainya ke depan. Gerakan sedang stress yang ditutup-tutupi. “Aku nggak memikirkan apapun.”

“Apapun?”' tanyaku sambil mencondongkan diri ke arahnya.

“Hm.”

“Yakin?” tanyaku lagi. Ia pun jadi goyah. Memang tak jarang orang lain menjadi ragu setelah disuapi pertanyaan sepele seperti itu. Dan benar saja. Esa juga terpancing.

“Sebenarnya aku sedang mencari cara untuk menebus dosa. Kamu tahu bagaimana caranya?”

Park Seroyi menghabiskan sisa hidupnya setelah keluar dari penjara dengan sibuk memikirkan strategi pembalasan dendam terhadap pembunuh Ayahnya. Karena tingkat dendamnya sangat tinggi, yang ia lakukan pun sangat tinggi hingga berhasil membuat perusahaan sendiri dan membeli saham perusahaan si pembunuh. Tapi menurutku selama itu ia kesulitan untuk bahagia. Hidupnya menjadi sangat melelahkan. Apa Esa akan menghabiskan sisa hidupnya dengan rasa bersalah seperti itu?
Aku ikut melemparkan pandangan jauh layaknya orang yang melempar umpan di laut. Memandang jauh dan mencoba berpikir jauh.

“Kita tidak cukup kompatibel untuk membuat anak-anak tumbuh dengan rasa aman dan nyaman, Sa. Pasti selalu ada kejadian dimana anak-anak merasa trauma akan sesuatu dan akhirnya mereka akan tumbuh bersama itu. Bahkan anak yang tidak broken home sekalipun bisa saja merusak dirinya sendiri dengan ekstasi dan kesenangan duniawi. Kau tahu, yang lebih mencengangkannya lagi? Ternyata manusia selalu membutuhkan bagian yang rusak seperti itu supaya bisa merasakan hidup.

***

Dream First ClassTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang