47. Yang kita pikir, dengan yang dunia suguhkan

0 0 0
                                    


Kalau begitu kita beli coklat panas saja, Na.”

Esa terlihat mengerutkan alis.

“Harus banget sekarang, ya? Anak-anak bisa sakit, lho, Noumi. Kamu nggak pikirkan itu?”

Aku menengok anak-anak dengan tatapan putus asa, namun Ajeng selalu peka terhadap apa yang aku rasakan.

“Kita yang mau sekarang, Pak guru,” sergahnya dengan suara lembut dan manis bagai es krim. Kukira Esa pasti setuju, namun ia malah memiringkan kepala. Agak heran dengan tingkah laku gadis kecil tersebut.

“Kenapa? Kamu nggak lihat di luar hujan begitu, sayang? Kalau kesamber petir gimana?”

“Hei, kok gitu, sih, ngomongnya?!”

Karena aku agak terkejut jadi tanpa sadar langsung mengeraskan nada suara.

“Apanya?!” tanyanya malah membalas dengan sedikit melotot. Seperti sudah mulai naik darah. Aku langsung terhenyak. Nana yang merasa gelisah langsung minta digendong olehnya. Anak itu seperti mengisyaratkan untuk jangan berkelahi karena ia jadi ketakutan. Tapi Esa mengelus punggungnya sambil menodongkan kekecawaan padaku.

“Lagian kamu, tumben-tumbenan mau keluar segala hujan-hujan begini. Nggak bilang-bilang lagi dari sebelumnya. Kan ada aku di sini.”

Bibirku terasa kelu. Bingung harus bilang apa. “Ya karena aku sudah janji sama anak-anak, Sa.”

“Iya tahu …. tapi kan bisa bilang dulu. Aku pernah melarang kamu, nggak?”
Jelas tidak pernah. Aku punya nol koma satu detik untuk menjawab itu. Tapi Ajeng masih menyela tanpa tahu konsekuensinya. “Jangan marahin Bu guru, Pak guru. Ini semua memang kita yang mau, kok. Kita yang maksa Bu guru juga.”

“Maksa?” tanya Esa yang nampaknya mulai kesal namun sekaligus terkejut.

“Sejak kapan Ajeng mulai belajar memaksa orang lain?”

Ketika diajukan pertanyaan seperti itu, Ajeng jadi tahu kalau ia dalam posisi yang salah.

“Oke, adik-adikmu mungkin iya suka memaksakan kehendak orang lain. Tapi kamu? Apa kamu yakin kamu juga melakukan hal itu?”

Memang itu benar-benar bukan sifat Ajeng. Esa sangat paham bahkan kalau adik-adiknya merengek tentang sesuatu, biasanya Ajeng lah yang akan mengalihkan perhatian ke hal-hal yang lain. Tapi untuk kali ini anak itu membuat Pak gurunya menunduk, membuang napas dengan kompromi sebelum kembali bersuara.

“Bisa tolong bawa adik-adiknya main dulu sebentar, mbak Ajeng? Pak guru mau ngomong sama Bu guru.”

Entah apa yang merasuki anak itu, di sepersekian detik kemudian ia malah membantah Esa dengan pandangan dingin nan lugas.

“Nggak! Nggak mau.”

Esa pun jadi terpaku karena terkejut.

“Wait, what? Nggak mau?”

“Iya. Nggak mau,” jawabnya yakin. Menantang sang lawan dengan pelototan yang sama.

Jujur, aku sendiri pun tidak mengerti mengapa Ajeng bersikap sampai sejauh ini. Ia tidak biasanya melawan atau menyahuti omongan Esa karena rasa hormat yang tinggi. Namun kali ini tindakannya sudah berbeda seratus delapan puluh derajat. Adik-adiknya pun jadi merasa cemas karena merasa tidak aman.

“Jadi Ajeng tetap mau pergi keluar hujan-hujan begini? Oke! Kamu boleh keluar sendiri kalau mau. Tapi jalan kaki. Jangan pakai mobil Pak guru,” tukas Esa sambil mengambil kembali kunci itu dari tanganku kemudian mengajakku berjalan menjauh dengan Nana yang masih dalam gendongannya.

“Jangan bawa Bu guru!” Ajeng menarik-narik tanganku dengan kekuatan anak kecil. Aku merasa prihatin padanya.

“Kami mau pergi sama Bu guru!”
Esa pun menghardik.

“Orang Bu gurunya nggak mau ikut!”
Ajeng mulai menangis namun tetap bersikukuh balas membentak.

“NGGAK! BU GURU HARUS PERGI SAMA KAMI!!!!”

“Sayang,” cegatku saat keduanya malah saling tarik-menarik dan beradu mulut. Ditambah lagi Ajeng berhasil merampas kunci mobil itu dari tangannya, membuat amarah si pemilik berada di puncak. Suaraku tidak sanggup mendominasi.

Dream First ClassTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang