Ingin pergi layaknya seekor burung yang terbang bebas di langit.
○○○
3. [Harapan Bersaudara]
Pagi harinya, mereka semua sarapan di satu meja yang sama. Hanya Keysa saja yang tidak ikut sarapan bersama dengan mereka, dan itu adalah hal yang biasa. Arta sedari tadi memperhatikan Nathania, yang hanya menatap makanan di hadapannya. Sedangkan Gerlan dan Gilvano, mereka makan dengan lahap.
"Nathania..." panggil Arta, dengan suara yang lembut.
Nathania mendongak, menatap ayahnya. "Iya, ayah?"
"Kenapa cuma dilihat aja? Ayo dimakan."
Kepalanya menggeleng kecil. "Kenapa bunda tadi pelgi, waktu Thani datang, ayah?"
Arta dan Gerlan berhenti dengan aktifitas mereka, menatap Nathania dengan sendu. Gerlan menatap Arta, ia ingin tahu Ayahnya akan bagaimana menjawab pertanyaan Nathania.
"Bunda ... tadi ada urusan, sayang. Mungkin bunda gak tahu, kamu tadi datang ke sini."
Gerlan menyimpan sendok yang ada di tangannya, ke atas piring. Ia menghadapkan tubuhnya pada Nathania. "Bohong. Ayah, bohong!"
Arta terdiam, tidak mengerti maksud Gerlan.
Mata Nathania mengedip beberapa kali. "Bohong?"
Anggukan kepalanya terlihat tegas. "Bunda gak sayang sama kamu. Jadi jangan nanyain bunda lagi. Kamu juga gak perlu sayang sama bunda!"
"Gerlan!" Arta membentak anak pertamanya itu. Ia tidak percaya, jika Gerlan bisa mengatakan itu pada Nathania.
Sekujur tubuh Nathania bergetar. Perkataan Gerlan, dan bentakan Ayahnya, membuat ia merasa ketakutan sekarang. Gilvano memandang mereka dengan polos. "Gilpan juga gak mau sayang sama bunda, soalnya bunda gak sayang Thani!"
"Gilvano..." Arta menatap anak pertamanya. "Gerlan cukup! Ayah tidak suka dengan sikapmu!"
"Lebih baik Natha tahu sekarang, ayah. Bunda gak pernah sayang Natha. Ayah jangan bohongin adik aku terus!"
Arta diam.
Gerlan turun dari kursinya. Ia memeluk Nathania dengan hangat. "Kalau bunda gak sayang sama kamu, abang sayang kok sama Natha. Jangan nangis, abang selalu ada buat kamu."
Gilvano ikut turun dari kursinya. Ia ikut memeluk Nathania dan Gerlan. Arta tertegun, dengan apa yang ia lihat dan apa yang ia dengar. Jadi itu, sikap dewasa Gerlan pada adik-adik nya. Namun, untuk memberitahu jika Bunda mereka tidak menyayangi Nathania, Arta kurang menyetujuinya. Saat ini, umur Nathania belum tepat untuk tahu segalanya.
"Gerlan, ayo pergi ke sekolah."
Anak itu mengangguk patuh. "Baik, ayah." Gerlan memberi usapan kecil di atas kepala adik-adik nya. "Abang sekolah dulu ya, nanti kita main lagi habis abang pulang. Oke?"
"Siap, abang!" jawab Gilvano dan Nathania.
Arta menghampiri anak-anak nya untuk berpamitan. "Kalian diem di rumah aja, ya. Kalau butuh apa-apa, minta tolong sama Bi Arum. Habis antar abang, ayah langsung kerja."
"Iya, ayah..."
Mengecup kening Nathania dan Gilvano, Arta pergi bersama Gerlan untuk mengantarkannya pergi ke sekolah. Nathania termenung, Gilvano yang melihatnya cemberut.
"Thani, ayo main!" ajak Gilvano.
"Thani gak mau."
"Ayo main!" rengek Gilvano.
KAMU SEDANG MEMBACA
GILNATH
General Fiction✴[ FOLLOW ➡ BACA ] ✴ Melodi itu indah. Rindu itu berjuta-juta rasanya. Namun ketika melodi rindu begitu menyakitkan, rasanya harapan sudah tidak lagi ada dalam diri. Tapi, akankah alunan melodi terus beralun seperti ini? apakah rindu akan terus ter...