20. Menunggu Firzan

16 6 0
                                    


[20.] Menunggu Firzan

Di pagi harinya, Nathania terbangun. Ia meraba dahinya yang terdapat sebuah handuk, lalu beralih pada tangannya yang digenggam. Sepanjang malam, Firzan tertidur sambil bersandar pada ranjang tidur. Pria itu benar-benar menjaga Nathania ketika sakit.

Merasa elusan lembut di kepalanya, Firzan terbangun. "Nath? Kamu udah bangun? Gimana keadaan kamu sekarang? Semalam suhu tubuh kamu dingin banget."

Nathania tersenyum, ia mengusap rahang Firzan. "Aku gak papa, makasih ya udah rawat aku. Maaf aku jadi ngerepotin kamu, Fizan."

Firzan menggenggam tangan Nathania yang mengusap bagian dari wajahnya. "Hey, kamu gak pernah ngerepotin aku. Kamu, kan, adik aku, Nathania."

"Iya, Zan..."

Melihat jam yang terpampang di dinding kamar, Firzan segera beranjak. "Udah jam tujuh, aku harus ke kantor. Kamu istirahat aja di rumah, ya."

"Loh, kamu gak capek seharian kerja dan jagain aku, Zan? Lebih baik kamu istirahat juga," tahan Nathania.

Pria itu malah tertawa, tangannya iseng menarik hidung gadis tersebut. "Perusahaan gak bisa ditinggal, Nathania. Kasian kalau Papa yang urus, urusan kantor juga lagi banyak banget."

"Kamu pulang jam berapa?" tanya Nathania.

Nampak berfikir, Firzan mencoba mengira-ngira. "Mungkin jam sembilan malam aku udah pulang, kalau semuanya udah selesai."

"Tapi itu kemalaman buat kamu, Fizan. Apalagi kamu belum istirahat, kan? Badan kamu juga pasti pegal-pegal."

Firzan melipat kedua lututnya, bertumpu pada telapak kaki. Ia mendekatkan wajahnya dengan wajah Nathania. "Kenapa? Tumben banget khawatir gini."

Nathania membuang arah wajahnya ke sisi lain. "A-aku cuma takut sendirian di rumah."

"Kamu, kan, gak sendirian, ada papa yang jagain kamu. Kalau butuh sesuatu, panggil papa aja."

"Aku gak mau ngerepotin om Harles."

"Papa gak akan kerepotan. Udah, ya. Aku takut telat ke kantor. Cepet sembuh, Bu Nathania." Firzan mencium sekilas kening gadis itu.

Firzan pergi menuju kamarnya, untuk bersiap-siap. Setelah selesai, barulah ia keluar. Di teras, Firzan bertemu dengan Harles.

"Pa, Zan berangkat ke kantor, ya. Firzan nitip Nathania, aku kayaknya pulang malam juga. Sekalian ngerjain tugas Nathania, supaya kerjaan dia gak terlalu banyak."

Pria yang akan berumur 50 tahun tersebut menoleh pada anaknya, ia tampak mengerutkan dahi. "Kamu mau ngerjain tugas sebanyak itu, Zan? Tugasmu saja sudah banyak, apalagi jika kamu mengerjakan tugas orang lain."

"Bagi Zan, Nathania bukan orang lain. Tapi dia adik aku. Ga masalah Pa, sebanyak apapun tugas yang aku ambil alih dari dia. Asalkan dia bisa istirahat, dan tidak terlalu lelah."

Harles menghela napasnya. "Kamu itu anak kandung papa, maka dari itu papa khawatir. Kamu juga harus jaga kesehatan tubuh kamu, Zan."

Firzan tersenyum, senyuman yang terlihat agak dipaksakan. "Aku anak kandung Lapa, tapi dari kecil Papa cuma perhatiin Nathania. Zan bisa menyembuhkan diri sendiri, sama seperti ketika Zan sakit dulu. Dan semenjak itu, Zan nggak butuh siapa-siapa lagi. Termasuk Papa..."

"Sekarang ... anggap saja Nathania sebagai anak kandung papah."

"Zan izin pergi ke kantor, Pa..."

Harles hanya mampu diam. Memang selama ini ia sadar, bahwa ia tidak adil dalam membagi perhatian serta kasih sayangnya pada Firzan dan Nathania. Selama ini juga, ia hanya terfokus pada Nathania. Bahkan ia tak mengingat, kapan anak kandungnya itu sakit saat kecil dulu. Firzan sama sekali tak mengeluhkan hal apapun terhadapnya.

GILNATH Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang