18. Jus Mangga

26 9 0
                                    


[ 18. Jus Mangga ]

Semenjak Nathania pergi meninggalkan ruangan, Firzan coba untuk mencari keberadaan gadis tersebut. Namun, ia sama sekali tidak dapat menemukan keberadaan Nathania di kantor itu. Akhirnya pria tersebut keluar dari perusahaan, mencoba mencarinya di luar gedung. Ketika langkahnya membawa menuju parkiran, Firzan melihat Nathania sedang bersandar pada sebuah mobil. Dengan segera mungkin, Firzan menghampiri.

"Nathania, ngapain kamu ada di sini?"

"Pergi!"

Firzan memutar tubuh Nathania yang membelakangi dirinya, mata mereka saling bertatapan. "Kamu marah, hm?"

"Kenapa kalian bawa dia ke sini?" Nathania mengeluarkan setetes cairan dari matanya. "Aku coba buat lupain dia, kamu tahu itu, kan!"

"Hey, dengar aku." Firzan menangkup wajah gadis di hadapannya. "Apa yang kamu benci dari Gilvano? Kamu mau lupain dia pun gak akan ada gunanya. Lebih baik kamu ngobrol sama dia, tanya kenapa selama ini dia gak temuin kamu. Dan tanya sama dia, kenapa dulu dia bisa sampai pergi dari rumah."

"Kamu gak akan dapat jawaban apapun, kalau kamu marah sama dia, kamu benci sama dia, atau bahkan coba buat lupain dia."

"Firzan aku mohon ... jangan memudahkan hal yang menurut aku susah!"

Pria itu beralih menggenggam bahu Nathania, tatapannya tak teralihkan dari gadis itu. Jari tangannya, mengusap air mata Nathania. Ia tersenyum hangat, yang mungkin akan memenangkan Nathania.

"Kamu cuma butuh waktu, Nathania."

"Aku butuh kedamaian, Zan."

Nathania memeluk Firzan, mencurahkan perasaan yang saat ini ia rasa. Gadis itu hanya mampu menangis, tak sanggup lagi untuk mengeluarkan sepatah kata. Firzan membalas pelukan Nathania, mengusap punggungnya.

Helaan nafas Firzan terdengar pelan. Ia membelai rambut Nathania seraya bertanya, "Kamu mau pergi ke mana? Biar aku antar."

Gadis itu melepas pelukannya, menatap mata orang yang berdiri di hadapannya. "Mau anterin aku ke makam ayah sama bang Gerlan?"

Bibir Firzan tersenyum, ia mengangguk kecil. "Tentu, kenapa nggak?"

Dasi yang awalnya terpasang di leher Firzan, kini pria itu pasangkan untuk menutupi mata Nathania. Mereka akan pergi dengan menaiki mobil, sedangkan trauma gadis itu belum juga hilang. Firzan membantu Nathania memasuki mobil, gadis itu duduk di samping kursi pengemudi yang di tempati oleh Firzan.

Di dalam mobil, Firzan memfokuskan dirinya pada jalanan. Sekilas Nathania mencoba membuka penutup matanya, lalu dengan cepat ia tutup rapat kembali. Firzan yang menyadarinya sedikit tertawa, ia mengusap kepala Nathania.

"Jangan terlalu dipaksain Nath, kalau kamu masih trauma. Aku ngerti, pasti gak gampang buat ngilangin rasa trauma itu. Apa lagi, kejadian itu kamu alami waktu masih kecil."

"Kadang aku ngerasa capek, karena terus ingat kejadian itu. Aku pengen ngelupain apa yang pernah aku alami, tapi itu susah buat aku, Zan..."

"Karena kecelakaan itu, udah buat aku kehilangan dua orang yang paling aku sayangi di dunia ini."

"Dan sekarang, aku cuma sendirian..."

Firzan menarik Nathania, agar lebih dekat dengannya. "Kamu gak pernah sendiri, aku gak mungkin biarin kamu jalani hidup ini seorang diri. Di manapun kamu, aku pasti berusaha buat selalu ada di sisi kamu, Nathania."

"Aku beruntung, karena aku ketemu kamu sama om. Aku juga tahu, Tuhan gak mungkin biarin hambanya hidup hanya seorang diri."

"Kita gak pernah tahu, Nath. Gimana cara Tuhan, untuk membuat kita lebih kuat lagi." Firzan menatap Nathania sekilas. "Kamu adalah salah satu dari perempuan terhebat!"

GILNATH Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang