24. Hati yang Terbakar
"Hai, Firzan..."
Disapa oleh seseorang yang memasuki ruangannya, pria dengan nama itu menoleh. Ia mencoba untuk tersenyum.
"Akuー"
"Safa?" sela Firzan. Ia sudah tahu nama perempuan itu, karena Harles telah memberi tahunya lebih dulu.
"Iya." Perempuan tersebut menghampiri tempat Firzan berbaring, agar mereka lebih dekat. "Gimana kondisi kamu? Aku ke sini disuruh Om Harles buat jagain kamu, soalnya kamu gak ada yang jagain."
"Gak papa kalau aku nungguin kamu di sini?" tanya Safa.
Cukup lama Firzan memandanginya. Perempuan dengan kulit putih yang mulus, serta wajahnya yang terlihat natural, membuat pria itu terpana. Namun bayangan Nathania saat tersenyum, terus muncul dalam pikirannya. Gadis itu seperti tak ingin Firzan lupakan, walaupun hanya sebentar saja.
Tak mendapat respon apapun dari lawan bicaranya, Safa mengusap bahu Firzan. "Kamu kenapa? Ada yang lagi dipikirin?"
Menjawabnya, pria itu hanya menggelengkan kepala. "Gak papa. Kamu bisa temani saya di sini, terima kasih. Maaf merepotkan, Safa."
Wajahnya terlihat masam. Kenapa Firzan harus berbicara formal seperti itu? Safa sangat tidak suka, karena mereka akan sulit untuk akrab dan menciptakan suasana canggung. Ia juga tidak bisa menyesuaikan cara berbicara Firzan. "Jangan formal gitu dong, Zan."
"Aku jadi bingung, harus gimana." Perempuan itu, tertawa kecil.
Firzan tersenyum. "Kenapa kamu mau nemenin aku di sini?"
"Aku pengen tahu, gimana keadaan temen kecil aku dulu. Aku yakin, pasti kamu gak inget aku 'kan?"
Mereka pernah bertemu dan berteman sebelumnya. Itu membuat Firzan terkejut, karena ia tidak pernah ingat dekat dengan orang lain selain Gerlan. "Maaf Safa, tapi aku gak ingat apa-apa kalau aku pernah ketemu kamu sebelumnya."
Dugaan perempuan itu benar, dia tidak mengingatnya sedikitpun. Tetapi sejak dulu, ia selalu mengingat Firzan saat pertama kali mereka bertemu.
Safa tetap tersenyum. "Ya, mungkin karena kita baru ketemu sekali aja. Aku selalu ingat kamu, Zan. Begitu juga sama Kak Gerlan..."
Untuk ke-dua kalinya Firzan terkejut. Perempuan itu menyebutkan nama Gerlan, kakak dari Nathania. Dari mana dia tahu Gerlan? Sekuat yang ia bisa, Firzan mencoba untuk mengingatnya. Namun sedikitpun, tak ada ingatan tentang Safa dalam pikirannya.
"Darimana kamu kenal sama Bang Gerlan?"
"Aku, Kamu, kak Gerlan ... kita dulu sempat bertemu. Kita bertiga dipertemukan, saat orang tua kita menjalin kerja sama antar perusahaan." Safa mulai bercerita, untuk mengembalikan ingatan Firzan yang sempat terlupakan.
"Dulu waktu kita masih kecil, keluarga kita berkumpul untuk saling berkenalan dan mempererat hubungan itu. Aku lihat kalian berdua, seperti sudah dekat."
"Dari jauh, aku selalu memperhatikan kamu sama kak Gerlan. Awalnya, aku takut buat deket sama kalian berdua. Tapi kak Gerlan, datang dan ajak aku buat gabung dan bermain bersama."
"Liat kamu yang dingin, aku mau lari ke orang tua aku. Tapi karena kak Gerlan tahan tangan aku dan bilang ... Safa gak usah takut sama Firzan."
"Habis itu, kak Gerlan marahin kamu. Dia bilang ... Firzan, kamu jangan nakutin dia. Dia anaknya teman Ayah sama om Harles, jadi dia juga teman kita."
Tangan Safa bergerak, menarik pelan telinga Firzan. "Dia juga ngelakuin ini sama kamu..."
Matanya, mengeluarkan bulir-bulir air. Safa merindukan anak laki-laki, dengan pikiran yang dewasa itu. Ia baru tahu, jika Gerlan telah tiada bersama ayahnya. Pertemuan singkat mereka, menjadikan kenangan yang abadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
GILNATH
General Fiction✴[ FOLLOW ➡ BACA ] ✴ Melodi itu indah. Rindu itu berjuta-juta rasanya. Namun ketika melodi rindu begitu menyakitkan, rasanya harapan sudah tidak lagi ada dalam diri. Tapi, akankah alunan melodi terus beralun seperti ini? apakah rindu akan terus ter...