[ 5. Memutuskan! Tanda Tangan Perpisahan ]~~~
Sepasang kaki melangkah memasuki rumah. Tampak, tangannya membawa sebuah map berisikan kertas di dalamnya. Keysa datang dengan membawa surat perpisahan. Seperti yang sudah ia katakan pada Arta, bahwa dirinya akan mengurus perpisahan mereka. Serta ia juga sudah menyiapkan untuk hak asuh anaknya, ia tidak ingin jauh dengan Gerlan dan Gilvano.
Berdiri tepat di belakang Arta, Keysa melempar map berisi surat perpisahan itu pada sisi sofa yang tidak di duduki. Tangannya bersedekap di depan dada, menunggu Arta untuk menandatangani.
Arta menoleh ke sampingnya. Ia mengambil map tersebut dan membuka isi map itu. Arta berdiri dari posisi duduknya, dan membalikkan badan. Sekarang, posisinya berhadapan dengan Keysa.
"Kamu ternyata serius ingin pisah dengan mas, ya," ujar Arta.
Bibir Keysa tersenyum miring singkat. "Mas yang pertama kali mengajukan nya, bukan? Saya hanya mengurusnya."
Tangannya menyodorkan sebuah pulpen pada Arta. "Ayo, tanda tangani."
Helaan nafas berat terdengar, Arta harus memutuskan ini sekarang. Tidak ada pilihan lagi, selain harus berpisah dengan Keysa demi masa depan Nathania. Bagaimanapun, sekarang sudah saatnya memprioritaskan anak-anaknya. Selama ini Arta bekerja dari pagi hingga tengah malam agar Keysa bisa fokus mengurus anak-anaknya. Ia bahkan mengurangi pekerja di rumahnya, dan hanya menyisakan Arum.
Arta berpikir, dengan begitu Keysa akan mengurus rumah dan anak-anak mereka. Namun ternyata salah, Keysa sama sekali tidak peduli. Bahkan pada anak-anak mereka. Ia selalu beralasan ingin bekerja dan bekerja.
"Baiklah, Keysa. Tapi Gerlan, Gilvano, dan Nathania ku pastikan ikut bersamaku! Kamu tidak akan bisa mengurus mereka, karena selama ini kamu sibuk dengan dunia kerjamu!"
"Tidak akan! Gerlan dan Gilvano akan ikut bersamaku! Terserah jika kamu ingin membawa atau membuang anak itu, tapi tidak dengan kedua anakku!"
Arta menandatangani surat perpisahan itu dengan yakin. Jika Arta terus mendengar Keysa berbicara buruk tentang Nathania, bisa saja emosinya menjadi tidak terkendali. Keinginan nya untuk menyelesaikan masalah dengan kepala dingin, tidak akan bisa Keysa mengerti.
"Kamu egois, Keysa. Jika aku tahu kau akan bersikap seperti ini, lebih baik dulu kita tidak memiliki seorang anak satupun."
"Dan akan lebih baik lagi, jika saja aku tidak menikah denganmu!" balas Keysa, membuat Arta tersentak atas ucapannya.
"Kenapa kamu malah menyalahkan pernikahan kita? Apa kamu menyesal menikah denganku selama ini?"
Keysa menggeleng. "Kita menikah, karena kita saling percaya satu sama lain. Dan selama itu, aku tidak menyesalinya. Tapi saat aku mengatakan, untuk menitipkan anak itu pada orang lain, kenapa tidak kamu lakukan?" Wanita itu berhenti berbicara untuk sesaat.
"Andai hari itu kamu mendengarkan ku, mungkin hari kemarin, hari ini, atau hari esok aku akan selalu bersama kalian! Tapi kamu malah mempertahankan anak yang menjadi datangnya kehancuran keluarga kita!" lanjut Keysa.
"Cukup Keysa!" sentak Arta. "Aku sudah menandatangani surat itu! Sekarang lebih baik kamu pergi! Aku tidak ingin mendengar satu kata buruk pun yang kamu tujukan pada Nathania."
"Baik, aku akan pergi! Tapi ingatlah, bahwa Gerlan dan Gilvano akan ikut bersamaku!" Selesai mengatakannya, Keysa pergi meninggalkan rumah itu.
Memijat kepalanya yang terasa berat, Arta menahan dirinya agar tidak tumbang. Ia duduk perlahan, pada sofa di dekatnya. Kepalanya semakin terasa nyeri, bagai ada sesuatu yang dilemparkan pada kepala Arta. "Akhh..."
KAMU SEDANG MEMBACA
GILNATH
General Fiction✴[ FOLLOW ➡ BACA ] ✴ Melodi itu indah. Rindu itu berjuta-juta rasanya. Namun ketika melodi rindu begitu menyakitkan, rasanya harapan sudah tidak lagi ada dalam diri. Tapi, akankah alunan melodi terus beralun seperti ini? apakah rindu akan terus ter...