32. Mengalah

7 4 0
                                    


[32. Mengalah ]

Saat ini, seseorang yang tengah dikhawatirkan itu tengah menatap album foto di diding rumah masa kecilnya. Ia sangat merindukan suasana di dalamnya, kehangatan yang tidak bisa lagi dirasakan.

Isinya masih sama persis, tidak ada yang berubah sejak bertahun-tahun ditinggalkan. Ternyata, Harles begitu teliti dalam menjaga rumah kenangan terakhirnya.

Jari jemarinya, mengusap foto dua orang yang telah pergi meninggalkan dunia ini. "Yah, bang, harusnya kita tumbuh dewasa di rumah ini. Harusnya, kita hanya pergi sebentar. Aku sudah kembali, tapi tanpa kalian."

"Aku bertemu dengan Gilvano, tapi maaf aku tidak bisa menjaganya. Aku kembali kehilangan dia."

Kakinya membawa Nathania pada ruang kamarnya dengan Gilvano. Ia membuka laci yang ada di dekat ranjang, lalu mengambil sebuah buku gambar.

"Sampai saat ini, aku masih belum bisa menggambar. Abang tau? Desain ku selalu ditolak mentah-mentah oleh Firzan, katanya gambar ku jelek. Padahal abang selalu bilang kalau gambarku bagus, kan?"

Kembali meletakkan buku itu di tempatnya, Nathania melihat sekeliling sebelum akhirnya ia menutup pintu kamarnya. Sedikit berjalan menuju kamar Gerlan, tangan Nathania bergetar saat menyentuh handle pintu kamar itu.

Tidak banyak barang yang ada di dalam kamar itu, karena Gerlan selalu menghabiskan waktunya di kamar ke-dua adik kembarnya. Hanya saja, hangatnya masih sama, seolah pemiliknya selalu berada di tempat ini.

Nathania melangkah menuju tempat tidur Gerlan, menatap sekeliling berharap Gerlan datang dan memeluknya.

"Abang? Aku Nathania, bang. Bertahun-tahun aku selalu nunggu abang di mimpi aku, kenapa abang gak mau nemuin aku?" lirih Nathania.

"Aku terlalu nakal?"

"Abang tau tidak? Untuk pertama kalinya dalam hidup aku, Nathania mencintai seorang laki-laki. Abang mengenalnya, dia teman abang. Anak om Harles." Ia tersenyum getir. "Tapi, semua itu hancur. Kita punya perasaan yang sama, tapi itu ditentang oleh Firzan."

Memegangi perban pada kepalanya, Nathania pun mengadukan hal itu. "Abang, ini sakit. Bunda jahat, bang. Bunda pukul aku, sampai kepala Thani berdarah."

"Di sana, abang jagain ayah, kan?" Nathania sedikit tertawa, agar ia tidak larut dalam rasa sedihnya. "Ayah pasti sedih, liat bunda dari atas sana. Bunda gak kasih tau kabar kita sama Gilvano."

"Aku kasihan pada Gilvano, ayah. Dia menunggu kita, berjuang sendirian menghadapi sikap keras kepala bunda. Dia yakin akan bertemu kita, padahal itu tidak mungkin terjadi. Nyatanya, dia hanya bisa bertemu aku sebagai orang asing."

Walaupun sedari tadi ia hanya berbicara seorang diri, namun dapat mengobati sedikit kerinduannya. Dirasa telah cukup, Nathania berpamitan untuk pulang ke rumahnya.

"Ayah, abang. Thani pamit pergi dari sini ya, lain kali aku main lagi. Aku gak bisa tinggal di sini sendirian, jadi aku tinggal di rumah yang gak jauh dari rumah kita."

"Ayah sama abang bisa main ke rumah aku, rumah yang dipilih om Harles. Om selalu memberikan yang terbaik buat aku, sama seperti ayah."

"Thani pergi dulu, ya."

••• GILNATH •••

Mengetahui Nathania yang pergi dari rumah begitu saja tanpa berpamitan padanya, Firzan tak tinggal diam. Ia bergegas untuk menemui gadis itu, setelah Safa mengatakan bahwa Nathania pergi ke rumah masa kecilnya.

Karena sering menemani Harles untuk sekedar melihat keadaan rumah Nathania, Firzan pun tahu persis dimana letaknya. Ia menancapkan mobilnya ditemani oleh Safa.

GILNATH Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang