10. Bawahan yang Dipercaya

29 10 0
                                    


10. Bawahan yang Dipercaya.

•••••

Diam berdiri di depan pintu, Arta mengambil nafas dalam-dalam. Kini semuanya telah usai, Gilvano sudah bersama dengan Keysa. Ia pergi bersama Gilvano, namun kembali ke rumah seorang diri. Apa yang akan ia katakan pada Nathania dan Gerlan? Maukah mereka mendengar penjelasannya? Di satu sisi, Arta ingin Keysa merawat mereka bertiga. Di sisi lainnya, Keysa tidak menyukai Nathania.

Lama berdiam diri di depan pintu rumah, akhirnya ia memantapkan diri untuk masuk. Pertama kali yang ia lihat saat memasuki rumah itu, Nathania sedang tertidur di pangkuan Gerlan. Dan tangan Gerlan yang mengusap kepala Nathania.

Melihat Gerlan akan bersuara, Arta menempelkan jari telunjuk di depan mulutnya. Menghampiri mereka, Arta menggendong Nathania yang masih terlelap. "Ayah mau bawa Nathania ke kamar, kamu tunggu di sini!" bisik Arta.

Gerlan mengangguk. Ia sempat berdiri, namun kembali duduk. Arta membawa Nathania ke kamar anaknya, dan langsung kembali setelah membaringkan Nathania di tempat tidur. Melihat Gerlan masih berada di tempat yang sama, Arta duduk di sampingnya.

"Gilvano mana, yah? Kok gak ada sama ayah?" tanya Gerlan.

"Maaf, Gerlan..."

"Maaf? Kenapa ayah minta maaf? Aku cuma nanyain Gilvano."

Rasanya tak sanggup melihat mata Gerlan. Arta hanya menunduk, menggenggam tangannya sendiri. "Kita mungkin, gak akan pernah ketemu sama Gilvano lagi..."

"Maksud Ayah apa!" marah Gerlan, nada bicaranya sedikit meninggi. "Jangan bercanda, Yah! Gilvano ada di mana? Dia masih di luar? Atau ketiduran di mobil? Biar Gerlan bawa ke sini."

"Ayah gak pergi ke kantor." Arta memberanikan dirinya menatap Gerlan. "Tapi pengadilan, bertemu bunda. Gilvano? Dia ikut sama bunda kamu."

Gerlan tertawa, kepalanya menggeleng pelan. Anak laki-laki itu, menganggap Ayahnya sedang bercanda. "Gak lucu, Yah. Ini gak lucu, Gerlan serius."

Nafasnya naik turun, matanya berair. Arta menggenggam tangan Gerlan, agar putranya dapat tenang. "Dengar ayah, Gerlan. Ayah sama bunda, udah gak bisa bareng-bareng lagi. Kamu bilang sama ayah, kalau kamu gak mau jauh dari Nathania, kan?"

"Iya! Tapi kenapa Gilvano harus ikut Bunda?"

"Kalau Gilvano gak ikut bunda, terus yang jagain vunda siapa?"

"Bunda bisa jaga dirinya sendiri, Yah!"

"Gerlan, kalian dilahirkan sama Bunda. Apa sekarang, kamu mau bunda hidup sendiri? Apa kamu membenci orang yang telah melahirkan kamu?"

Air mata Gerlan turun dengan deras, hingga membanjiri pipinya. "Kenapa Ayah gak bilang dari awal!"

"Jadi ini, maksud Ayah? Waktu Ayah bilang ke Gilvano buat pamit sama Nathania?"

"Jagain Thani? Nanti main bareng-bareng lagi? Gilvano juga bilang itu sama Gerlan. Apa Gilvano tahu, kalau dia bakal ikut bunda?"

Arta mengangguk. "Iya. Sebelum itu, ayah bilang sama Gilvano buat ikut sama bunda. Gilvano setuju. Ayah terpaksa, karena kamu gak mau ikut sama Bunda. Dan Gilvano setuju, karena dia mau suatu hari nanti lihat Nathania dipeluk bunda. Dia mau merubah bunda."

Tangis Gerlan semakin tersedu-sedu. "Jadi, semuanya salah Gerlan? Harusnya, Gerlan mau ikut sama bunda. Ngerubah bunda, itu tugas Gerlan, bukan Gilvano...."

"Jangan menyalahkan diri kamu, Gerlan. Kalau ada yang salah, maka ayah lah yang salah." Arta memeluk Gerlan. "Kamu harus yakin, kalau bunda bisa jaga Gilvano dengan baik. Karena dia, ibu kalian."

GILNATH Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang