7. Kekhawatiran Gerlan

29 11 0
                                    


[7. Kekhawatiran Gerlan]

••••

Dengan barang-barang yang ada di tangannya, Arum sudah siap untuk pergi. Selesai sarapan, mereka semua berkumpul di depan rumah, menunggu jemputan yang dipesan oleh Arta untuk mengantarkan Arum menuju stasiun.  Mereka tidak bisa mengantarkan Arum secara langsung menuju stasiun, karena Arta harus pergi ke kantornya. Sedangkan kantor Arta dan stasiun, berbeda arah dan jarak tempuhnya pun cukup jauh.

"Bibi janji, dateng ke sini lagi?" ujar Nathania.

Tangannya mengusap rambut Nathania, bibirnya tersenyum untuk meyakinkan. "Iya, non. Bibi janji! Non Natha juga harus akur ya sama Den Gilvan, gak boleh berantem."

"Iya, Bi. Natha, kan, sayang sama Gilpan!" Nathania memberikan senyumnya.

"Gilpan enggak!" celetuk Gilvano, membuat Gerlan menarik telinganya. "A-aw! Sakit Bang Gelyan!"

Tanpa melepas tangannya dari telinga Gilvano, Gerlan menasehati adik laki-laki nya ini. "Gak boleh bilang kayak gitu, Gilvano! Kamu mau abang sama Nathania tinggalin kamu sendiri?"

Mendengar ancaman dari Gerlan, Gilvano menggeleng cepat. "Nggak mau!"

"Gilvan, denger ya. Kamu sama Nathania emang kembar, tapi Nathania lahir lebih dulu sebelum kamu. Jadi kamu harus bersikap sopan sama Natha," nasehat Gerlan.

Sedikit memiringkan kepalanya, Gilvano bertanya, "Thani kakak Gilpan, ya?"

Gerlan mengangguk, membenarkan. "Iya, jadi kamu harus bersikap sopan sama yang lebih tua."

"Gerlan..." panggil Arta.

Anak dengan nama itu menoleh. "Makasih, ya. Kamu sudah mengajarkan adik-adik kamu hal yang baik. Hal yang bahkan, ayah gak pernah ajarin itu sama kamu."

Anak seusia Gerlan, mungkin tidak tahu banyak mana sikap yang baik dan sikap yang buruk. Tapi Arum tahu, bahwa Gerlan berbeda dari anak seusianya yang lain. Gerlan adalah seorang kakak terbaik, yang pernah ia lihat. "Den Gerlan itu pintar, Tuan. Bahkan Den Gerlan selalu bisa menggantikan kalian sebagai orang tua, saat Tuan dan nyonya tidak ada."

Arta mengakui itu, Gerlan bahkan lebih baik darinya dalam mengenali Nathania dan Gilvano. "Iya, saya tahu itu. Makanya, saya lebih percayakan Nathania dan Gilvano pada Gerlan. Saya hanya bisa tenang, apabila Gerlan ada bersama mereka."

"Tapi terkadang saya juga lupa, kalau Gerlan juga anak-anak. Dia membutuhkan perhatian untuk dirinya sendiri."

Arum menggelengkan kepala. "Tidak, Tuan. Den Gerlan tidak membutuhkan perhatian apapun, yang dia butuhkan hanya adik-adiknya selalu tersenyum dan selalu bahagia."

Senyum Arta terlihat sendu, ia benar-benar merasa gagal sebagai orang tua. Andai ia bisa kembali mengambil perhatian anak-anaknya, andai Gerlan bersikap seperti anak seusianya, mungkin ia tidak akan merasa cemburu. Namun Arta cukup sadar diri, semua yang terjadi adalah kesalahannya.

Taksi yang sebelumnya dipesan  memasuki kediaman Arta. Arum kembali berpamitan dengan tiga anak tersebut. "Den Gerlan, Den Gilvano, Non Natha bibi pergi dulu, ya. Kalian jaga diri baik-baik. Kalau bibi ketemu kalian lagi, bibi mau lihat pipi kalian tembem." Arum tertawa untuk mencairkan suasana.

"Bibi hati-hati di jalan, ya..." ujar Gerlan.

Sambil membawa tas di tangannya, Arum berjalan menuju mobil dan memasuki barang-barang nya terlebih dulu. Tangannya melambai pada Gerlan, Gilvano, dan Nathania sebelum Arum memasuki mobil.

GILNATH Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang