•••
[6. Pengunduran Diri]
•••
Langit gelap bertaburan bintang, menemani malam kebersamaan mereka. Arta mengubah halaman rumahnya, menjadi tempat makan malam untuk Anak-anak nya. Dengan alas yang sederhana, dilengkapi oleh makanan yang ia buat sendiri. Hari ini, Arta hanya menyuruh Arum asisten rumah tangannya untuk memasak sarapan dan makan siang.
Walaupun Arta hanya bisa memasak makanan sederhana, namun ia sangat yakin bahwa Gerlan, Gilvano, dan Nathania akan menyukainya. Ini adalah salah satu keinginan Nathania, makan bersama-sama walau tanpa Keysa.
Arta menghela nafas. "Maaf ya, Nathania. Ayah gak bisa ajak bunda buat makan bareng kita. Bunda kayaknya lagi sibuk banget, lain kali bundaー" Seketika Arta berhenti berbicara dan terdiam, ketika Nathania menyela ucapannya.
"Aku gak mau bunda ada di sini. Aku cuma mau ayah, Bang Geyyan, sama Gilpan yang ada di sini sekarang," sela Nathania, tersenyum kecil.
Bukan hanya Arta yang terkejut, tapi juga Gerlan. Mereka berdua saling bertatapan.
"Kenapa Nathania? Kamu gak benci bunda kan, sayang?" tanya Arta. Ia takut, jika Nathania membenci Keysa.
Kepala gadis kecil itu menggeleng. "Nggak kok, Natha cuma gak mau bunda ada di sini. Natha gak mau bunda ambil Bang Geyyan sama Gilpan."
Apa mungkin Nathania mendengar percakapannya dengan Keysa siang hari itu?
Untuk mencairkan suasana, Arta tertawa kecil. "Abang sama Gilpan gak akan ninggalin Nathania, mereka sayang sama kamu."
"Emang kenapa kalau Nathania benci bunda? Itu bagus, kan, yah?" timbrung Gerlan.
"Gerlan, sebagai seorang kakak kamu harus mengajarkan hal baik untuk adik-adik kamu. Mempunyai sebuah dendam bukan hal yang baik, itu bisa merusak akal."
"Tapi, yah..."
"Bang Gelyaan! Tangan Gilpan panas!" teriak Gilvano. Bibirnya mengerucut dan bergetar, matanya berkaca-kaca seperti akan menangis.
Dengan cepat, Gerlan melihat dan mengusap tangan Gilvano yang terasa panas. Tangannya sedikit memerah, akibat memegang makanan yang masih panas.
"Gilvano ... kapan kamu gak ceroboh kayak gini? Jangan buat Bang Gerlan khawatir terus dong! Kamu harus hati-hati. Kalau kamu terus ceroboh, abang jadi khawatir kalau gak ada di deket kamu tahu!" omel Gerlan, sambil mengusap dan meniup tangan Gilvano.
"Gilpan emang celoboh, cengeng lagi! Wle!" Nathania menjulurkan lidahnya, meledek Gilvano yang selalu berbuat ceroboh lalu menangis.
Tangis Gilvano semakin kencang, karena dirinya diledek. Ia langsung memeluk Gerlan dan menangis di pelukan Kakaknya. "Bang Gelyan! Thani ledekin Gilpaaan!" adu Gilvano.
"Udah, udah, kalau gitu Gilvan jangan nangis lagi, ya?"
"Gilpan cengeng!"
"Thaniii!"
Tanpa rasa bersalah karena membuat Gilvano menangis lebih keras, Nathania tertawa melihatnya. Arta yang hanya memperhatikan, tersenyum. Terkadang ia merasa cemburu pada anak sulungnya, karena mengambil perhatian Gilvano dan Nathania. Tapi ia senang, jika Gerlan bisa peduli pada mereka berdua lebih dari dirinya.
"Sudah, jangan bertengkar Gilvano, Nathania. Gerlan, gimana tangan Gilvano?" lerai Arta, sambil bertanya keadaan tangan Gilvano.
"Tangan Gilvan gak apa-apa kok, yah. Cuma merah dikit aja," jawab Gerlan.
KAMU SEDANG MEMBACA
GILNATH
General Fiction✴[ FOLLOW ➡ BACA ] ✴ Melodi itu indah. Rindu itu berjuta-juta rasanya. Namun ketika melodi rindu begitu menyakitkan, rasanya harapan sudah tidak lagi ada dalam diri. Tapi, akankah alunan melodi terus beralun seperti ini? apakah rindu akan terus ter...