"Fizaaann, ke ruang Nathania dong!""Kamu butuh apa?"
"Butuh Fizan!"
"Nathania...."
"Aku serius, aku butuh Fizan ke sini."
Menghela nafas, Firzan menutup panggilan pada ponselnya. Ia keluar dari ruangannya, menuju ruang Nathania.
17 tahun berlalu, mereka kini bukan lagi sosok anak-anak. Di umur Nathania yang ke 21 tahun ini, ia sudah bertanggung jawab atas perusahaan ayahnya yang sempat di pegang oleh Harles. Sedangkan Firzan, pria itu kini telah berumur 24 tahun. Ia membantu Nathania, dalam urusan perusahaan, menggantikan posisi papanya sebagai tangan kanan.
Pria berumur 24 tahun itu, menjadi sosok yang lebih pendiam dan terkesan dingin. Ia tidak suka banyak berbicara, dan bersosialisasi dengan banyak orang.
Dan Nathania, gadis itu bahkan lebih cuek dari sebelumnya. Firzan dan Harles adalah satu-satunya orang yang Nathania hargai, karena mereka telah merawatnya dengan baik.
Sampainya di ruangan Nathania, Firzan langsung masuk ke dalam. "Ada apa?"
Nathania tersenyum, ia mempersilahkan Firzan untuk duduk. "Sini Fizan, duduk dulu. Biar gak kayak patung sambutan."
"Firzan!" protesnya, membenarkan.
"Iya, iya, Fizan."
Pria itu hanya menghela nafasnya, dan duduk berhadapan dengan Nathania.
"Tolong bantu aku cek dokumen yang ini, ya." Nathania memberikan beberapa lembar map, berisikan berkas-berkas.
Firzan mengambilnya, dan langsung membuka map itu satu persatu. Membacanya dengan teliti, Firzan memfokuskan diri pada dokumen itu.
"Waaahhh!"
"Hmmm, wanginya..."
"Ini pasti enak, makanan kesukaan aku semua!"
Suara berisik Nathania mengganggu konsentrasi Firzan, pria itu menatap datar gadis yang ada di hadapannya. "Ini bukan jam makan, Nathania."
Tak memperdulikan, Nathania menyantap makanan yang ada di kotak bekalnya dengan santai. "Gak papa, aku 'kan bosnya."
"Aku bawa dokumennya ke ruangan aku."
Sebelum pria tersebut beranjak, Nathania lebih dulu mencekalnya. "Tunggu dulu! Lagian kamu kerjanya fokus banget!"
"Kamu pemimpin perusahaan ini, Nathania. Cobalah bertanggung jawab! Ini bukan sikap seorang pemimpin, kamu tahu, kan?"
Meletakkan sendoknya, Nathania menundukkan kepala. "Aku gak pernah mau nanggung tanggung jawab ini. Harusnya, perusahaan ini di pimpin Bang Gerlan sekarang."
"Perusahaan ini adalah peninggalan ayah, makanya aku mau ambil tanggung jawab. Setelah ini, aku mau kamu yang pimpin, Firzan...."
"Tugasku hanya menggantikan papa sebagai tangan kanan, bukan pemimpin. Menjalankan bisnis keluarga, itu tanggung jawab kamu!"
Mata mereka saling bertatapan.
"Firzan, apa yang lebih penting antara perusahaan dan mental?"
"Aku udah capek, Zan! Aku pengen ketemu bang Gerlan sama ayah. Aku kangen mereka!"
"Kamu melupakan seseorang, Nathania."
"Jangan ingatkan aku padanya, Firzan!" tegas Nathania.
"Waktu kita mengalami kecelakaan itu, apa dia dateng jenguk kita? Bahkan waktu ayah dan bang Gerlan udah gak ada pun, dia tetep gak datang!"
KAMU SEDANG MEMBACA
GILNATH
General Fiction✴[ FOLLOW ➡ BACA ] ✴ Melodi itu indah. Rindu itu berjuta-juta rasanya. Namun ketika melodi rindu begitu menyakitkan, rasanya harapan sudah tidak lagi ada dalam diri. Tapi, akankah alunan melodi terus beralun seperti ini? apakah rindu akan terus ter...