[ 22. Hambar ]Keesokan harinya, keadaan Firzan telah sedikit membaik. Gilvano masih berada dengannya, menemani dari kemarin malam. Firzan ingin segera keluar dari rumah sakit, namun kondisinya membuat ia harus menunggu selama 2 hari lagi.
Melihat Gilvano yang sedang sibuk dengan laptop milik Firzan, pria itu tertawa kecil. Suara tawanya terdengar oleh telinga Gilvano.
"Kak Firzan kenapa ketawa?"
"Dari tadi kamu ngerjain apa? Kayaknya gak selesai-selesai."
Sudah 5 jam lamanya, Gilvano berhadapan dengan laptop itu. Laki-laki tersebut, mengatakan ingin meminjam laptop milik Firzan untuk mengerjakan sesuatu.
"Tugas Kak Firzan."
Mengangkat sebelah alisnya, Firzan bertanya, "Tugas saya? Memangnya kamu bisa?"
Tanpa menoleh, laki-laki itu menggeleng. "Nggak, sih. Makanya dari jam tujuh sampai sekarang, ini gak selesai-selesai."
Menahan tawanya, Firzan geleng-geleng kepala.
"Tapi gak papa, namanya juga belajar. Sekalian ngurangin beban tugas kantor Kak Firzan..."
"Yakin ngurangin? Kalau sampai salah, akibatnya bisa fatal ke perusahaan, loh..."
Begitu mendengarkan hal tersebut, Gilvano menjauhkan laptop itu darinya. "Hah? Serius? Aduh, maafin Gilvan, Kak! Serius, Gilvan gak tahu. Saya tadinya cuma mau bantu Kak Firzan doang."
Raut wajah panik dari Gilvano, membuat Firzan tertawa. "Saya hanya bergurau, Gilvano. Candaan yang sama, ketika Nathania pertama kalinya, belajar tentang tugasnya di perusahaan."
"Nathania?" Nama itu, dipikiran Gilvano sangat tidak asing. Namun, ia tidak bisa mengingatnya.
"Itu nama Natha. Kamu kenapa, tiba-tiba diem?" Firzan mengulum senyumnya.
"Gak papa, sih. Cuma kayaknya saya pernah dengar nama itu..."
Mereka berdua menoleh, ketika pintu ruangan terbuka. Nathania masuk, dengan sebuah nampan di tangannya. Nampan itu berisikan makanan, untuk pria yang tengah berbaring tersebut.
"Firzan? Gimana kabar kamu?" sapa Nathania, begitu berdiri tepat di samping ranjang pria itu. "Siang, Gilvan."
"Siang Natha..." balas Gilvano.
"Aku sudah agak baikan," jawan Firzan, sambil memberikan senyuman.
"Syukur, deh. Ini, aku ada bawa makanan dari suster. Makan, ya." Nathania menyodorkan itu pada Firzan.
Melihat makanan itu, selera Firzan menurun. Tadi pagi, ia juga memakan makanan yang persis seperti itu. Dan lidahnya, tidak merasakan apapun. Makanan itu hambar dan dingin.
Gerak gerik pria itu, tidak lepas dari pandangan Nathania. Gadis itu mengangkat sebelah alisnya, ketika makanan yang ia sodorkan dijauhkan oleh Firzan.
"Kamu kenapa? Ayo dimakan, Fizaann..."
"Aku gak laper..."
"Bukan masalah laper enggaknya, kamu 'kan harus minum obat. Jadi, kamu harus makan dulu."
"Nggak!"
"Fizan!"
"Nggak, Nath!"
"Makan, ayo!" Nathania mengarahkan sesendok bubur itu ke depan mulut Firzan. Namun Firzan, pria itu mengarahkannya kembali pada Nathania.
"Cobain!"
Gadis itu mencoba rasa dari bubur di tangannya, lidahnya mengecap untuk merasakan. Matanya menatap Firzan, lalu menyimpan mangkuk bubur itu di atas nakas.
KAMU SEDANG MEMBACA
GILNATH
General Fiction✴[ FOLLOW ➡ BACA ] ✴ Melodi itu indah. Rindu itu berjuta-juta rasanya. Namun ketika melodi rindu begitu menyakitkan, rasanya harapan sudah tidak lagi ada dalam diri. Tapi, akankah alunan melodi terus beralun seperti ini? apakah rindu akan terus ter...