30. Keputusan Mutlak

4 4 0
                                    


30. Keputusan Mutlak

Bertumpu di antara ke-dua makam Arta dan Gerlan, Harles tampak bimbang dengan keadaan yang terjadi. "Pak Arta, pilihan apa yang harus saya ambil? Pak, bagaimana saya bisa memutuskan sesuatu untuk hidup Nathania?"

"Gerlan, om harus bagaimana? Adik kamu sekarang sudah besar. Begitupun dengan Firzan temanmu. Dari atas sana, kamu dan ayahmu melihatnya, kan? Berkunjunglah ke mimpi om sekali saja. Sampaikan sesuatu pada saya, bagaimana saya harus bertindak." Tangannya bergerak mengusap nisan Gerlan.

Rasanya ia sudah putus asa, ingin menyerahkan segalanya pada takdir. Namun, apa yang akan dikatakan oleh atasannya yang sudah ia anggap sebagai kakaknya tersebut nanti.

"Pak Arta, datanglah di mimpi saya, katakan apa yang harus saya lakukan? Saya sudah terlanjur mengenalkan Safa, putri sahabat kita pada Firzan."

Cairan bening di pipinya, ia usap dengan pelan. Kemudian tersenyum getir menatap nisan Arta. "Kenapa bukan saya saja yang ada di posisi kalian berdua? Saya yang sudah pasrah dengan kehidupan ini. Kenapa semesta selalu bermain-main dengan takdir manusia, pak?"

"Saya telah gagal. Gagal menjaga putra serta putri kesayangan bapak. Saya tidak bisa mempertemukan mereka dan memperbaiki keadaan, pertemuan itu begitu singkat. Mereka kembali berpisah, setelah bu Keysa membawa Gilvano pergi."

Untuk ke-dua kalinya ia kehilangan jejak mereka. Sebelumnya, butuh waktu bertahun-tahun untuk mempertemukan mereka. Lalu, berapa waktu yang dibutuhkan untuk mencari keberadaan Gilvano yang dibawa oleh Keysa setelah ini?

Kenapa perpisahan dan kehilangan yang harus menjadi ujiannya? Di mana titik terang yang dijanjikan itu? Mereka sudah berputar-putar terlalu lama pada ruang gelap ini.

Mengapa permainan takdir serumit ini?

"Gerlan, bantu kuatkan om untuk ini. Om ingin kuat dan sabar melewati ini seperti kamu. Jika nanti kita bertemu, marahi om atas banyaknya kesalahan yang om lakukan, ya," ujar Harles, tersenyum menatap nisan Gerlan.

"Pak Arta, Gerlan, saya pamit ya."

••• GILNATH •••

Firzan lekas kembali masuk menemui Natahania yang sempat ia tinggal sebentar. Tangannya mendekap gadis itu, memberi kecupan hangat pada dahinya.

"Aku minta maaf, Nathania. Aku janji, kita akan selalu bersama. Janji ku pada bang Gerlan, om Arta, adalah menjaga kamu." Ia terpaku pada mata sembab yang masih mengalirkan air mata itu.

"Tapi kita gak bisa lebih jauh lagi. Memangnya apa, status yang lebih tinggi dari persaudaraan? Kita masih bisa bersama, tapi sedikit beri aku jarak, ya."

Tangan yang terdapat selang infus milik Nathania, menghempas pelan tangan Firzan yang ada di wajahnya. "Kamu mencintai Safa?"

"Zan, liat mata aku!" Nathania menarik kerah Firzan. "Apa kamu mencintai Safa?" ucapnya, mengulang kembali. Ia butuh kejelasan, serta kejujuran laki-laki itu.

"Aku pernah mencintaimu. Tapi sekarang, aku ingin belajar mencintai perempuan lain. Kamu tau, Nath? Aku pernah menunggu kamu untuk mengatakan itu jauh sebelum aku mengambil keputusanku sekarang."

"Kenapa? Kenapa butuh waktu lama untuk kamu menyadari itu? Mengerti perasaan aku yang ingin memiliki kamu."

Nathania sudah terisak, sakit di hatinya begitu dalam. Dadanya terasa sesak, bahkan sekedar bernapas pun sulit untuknya. "Aku mohon, Zan..."

GILNATH Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang