23. Kembali Bertemu

11 4 0
                                    

23. Kembali Bertemu

"Firzan...."

"Iya, pa?"

"Ada yang akan datang dan menjenguk kamu di sini. Papa sekaligus meminta dia, untuk menemani kamu."

Senyuman tampak di wajah Firzan. "Oh, dia..."

"Papa harap, kamu bisa nyaman dengan dia. Tapi papa tidak akan memaksa kamu, Zan. Jika kamu memang tidak merasa nyaman dengannya, bilang saja."

Kepala pria itu menggeleng sekilas. "Terima kasih, Pa. Akan Zan paksakan, untuk bisa menerima dia."

"Ya sudah, kamu baik-baik di sini. Papa ada urusan, jadi kamu di sini sendiri. Tidak apa-apa, kan?"

"Udah Zan bilang, Pa ... sekalipun Firzan gak butuh orang lain buat ada di sisi Zan, walaupun kondisi Zan lagi gak baik-baik aja."

Harles mengacak rambut anaknya itu. "Kamu tetap seorang anak bagi papa, Zan. Sebagai orang tua, papa juga merasa khawatir."

"Terima kasih untuk rasa khawatirnya, Pa. Tapi sungguh, Zan tidak membutuhkan itu."

"Firzan...."

"Papa ada urusan, kan? Rasanya itu penting..."

Mungkin Harles tidak dapat mengerti perasaan Firzan, ia juga tidak bisa merasakan apa yang anaknya rasakan selama ini. Perhatian yang selama ini ia berikan pada Nathania, terlampau jauh berbeda atas perhatiannya pada Firzan.

Semenjak lahir, Nathania tidak pernah merasakan kasih sayang Ibunya. Harles pikir, anak atasannya tersebut butuh kasih sayang lebih darinya. Namun ia lupa, bahwa anak kandungnya juga lahir tanpa kasih sayang seorang Ibu. Nathania memiliki saudara, tapi Firzan tidak.

Setiap hari ketika usia Firzan masih kecil, Harles selalu menyuruh Firzan untuk bermain di panti bersama anak-anak lainnya. Di sana, pria itu terkadang sama sekali tidak bermain. Yang ia inginkan, hanya waktu bersama Papa nya. Ia selalu merasa kesepian, dan tidak satupun teman yang nyaman untuknya.

Untuk menyadari hal itu, mungkin sudah terlambat. Harles menerima sikap Firzan padanya, sebagai sebab tindakan sikap tidak adilnya.

"Papa minta maaf, Zan..."

"Papa pergi sebentar, setelah selesai semuanya ... papa akan pulang."

Menatap Papanya, Firzan hanya mengangguk. Setelah Papanya pergi, ia menghela napas panjang. Sejenak matanya terpejam, untuk merilekskan tubuhnya.

"Maaf, pa. Tapi sebagai seorang anak, Zan juga mau dimengerti. Tapi semuanya juga udah terlambat. Karena Zan butuh papa, waktu dulu Zan masih kecil."

"Aku gak nyalahin kehadiran kamu, Nath. Gak sedikitpun aku nyalahin atau bahkan benci kamu. Tapi, aku cemburu karena kamu dapet lebih perhatian Papa aku."

"Aku gak minta buat di manja. Tapi aku cuma mau, waktu untuk mengisi masa kecil yang gak pernah aku dapetin. Mama pergi, waktu melahirkan aku. Dan papa? Dia ada, tapi aku gak ngerasain kehadiran dia."

"Salah satu yang aku gak suka, waktu dengar kamu selalu mengeluh. Itu karena, kamu selalu merasa bahwa tidak ada yang memperdulikan kamu. Padahal sebenarnya, kami selalu menyayangimu."

Pria itu benci, ketika Nathania selalu merasa putus asa. Itu membuatnya berpikir, seolah-olah tidak ada yang mempedulikan Nathania. Padahal, mereka menyayangi gadis tersebut melebihi apapun.

•• Gilnath •••

Karena hari ini Nathania tidak berani untuk pulang menggunakan mobil, ia memilih untuk naik ojek. Memesan taksi pun, tidak ada keberanian. Ia hanya akan merasa tenang, jika Firzan yang membawanya.

GILNATH Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang