BAB 1: Siapa Haura?

576 35 3
                                    

"Sesungguhnya Allah bersama orang orang yang sabar."

-Merindu Kalam Surga-

Sarjana - sukses - bahagia

Impianku sangat sederhana. Namun kesederhanaan itu malah membuatku harus menerima cacian, hinaan, dan cemoohan orang orang diluar sana. Katanya aku tidak cukup terampil untuk melanjutkan pendidikan lebih tinggi. Anak tukang becak tidak pantas bersaing dengan orang pintar. Memang benar, aku memang tidak pantas. Tapi apa salahnya mencoba?

Sebelum berselancar lebih jauh, biar ku sebutkan namaku. Aku, Haura Raihana Tsurayaa. Anak yang menjadi harapan terakhir orang tua. Terlahir dari rahim ibu terhebat yakni, Ibu Ginasih. Dan sosok pahlawan hidup yang tangguh, tak mengenal lelah, dan selalu berusaha untuk memenuhi kebutuhan istri dan anaknya. Aku bangga dengan bapak. Laki laki berparas hitam dengan rambut yang sering dibotak. Tidak pantang menyerah dalam mencari nafkah. Peluh keringat ia jadikan ibadah. Bapakku, Bejo Paninalang.

Aku mempunyai kakak perempuan, Maya Olivia namanya. Mbak Maya sudah lulus dari SMK dan sekarang tidak bekerja. Dia diam dirumah sembari menunggu jodoh katanya. Aku sedikit kesal dengan dia yang tidak ada pergerakan sama sekali. Aku beberapa kali menyindir tapi yang ada malah aku kena omel dari ibu. Ibuku sendiri tidak menuntut apa apa dengan Mbak Maya. Berhubung ibu sudah banyak kali menyuruh dia untuk bekerja. Dan berakhir tangisan Mbak Maya.

Mbak Maya tidak suka diatur, tidak kebal gunjingan, dan sebentar sebentar menangis. Setiap kali kata keluar darinya selalu aku balas dengan sindiran. Aku tidak benci, hanya saja aku ingin sekali merasakan bagaimana dibonceng seorang kakak. Bagaimana rasanya dilindungi olehnya. Sekarang, aku yang melindungi Mbak Maya. Bolehkah aku sedikit egois? Aku berharap dia segera menikah dan ikut suaminya kemana pun aku tak peduli. Yang penting dia pergi dari rumah dan aku bisa bernafas lega. Huftt, berbicara tentang Mbak Maya. Aku pernah sekali menerima pelajaran yang amat sangat yaa, begitulah. Semenjak saat itu aku tidak mengganggu Mbak Maya lagi. Bahkan sekadar menyapa pun jarang walau satu rumah.

Flashback

"Bu, tanganku lemas lagi. Aku gemeter takut!" Mbak Maya yang sedari tadi menonton TV tiba tiba mengagetkan ibu dan aku yang ada disamping. Ibu dengan raut panik segera menghampirinya.

"Kumat lagi? Ibu ambilkan air hangat dulu yaa."

Aku menatap ibu yang berangsur mundur menuju dapur. Aishh! Aku kesal sekali, enak enak liat sinetron. Dia malah dengan mudahnya menganggu. Aku menoleh pada Mbak Maya yang berusaha mengatur deru nafas dan selalu memainkan wajahnya. Menghela nafas pelan, aku menghampirinya. Memindai lamat lamat setiap pergerakannya. Dengan sinis, aku menimpali Mbak Maya.

"Makanya, jangan jadi penakut. Apa apa dipikir, apa apa dimasukin hati. Kemasukan beneran jadi bingung."

"Lagian sih, udah dewasa tapi pikiran masih kaya anak kecil. Malu tuh sama Shafira tetangga depan. Kecil kecil ga takut apa apa," lanjutku tanpa memperdulikan tangannya yang semakin bergetar.

Dia tidak menjawab apa apa, hanya diam. Bosan dengan semua aku pergi dari sisinya dan kembali ke kamar. Menutup pintu hingga terdengar suara gebrakan. Untung saja ibu tidak mendengarnya.

"HAURAA!!! APA YANG KAMU LAKUKAN PADA MBAKMU?!!"

Sudah kuduga kejadian ini akan terjadi. Aku tertawa miris mendengar teriakan dan gebrakan seseorang di balik pintu kamarku. Dengan tidak minat, aku membukanya.

"Bisa tidak, tidak usah cari gara gara. Jangan membuat mbakmu menangis," ibu menggeret tanganku dan menghadapkanku pada Mbak Maya, kakek, dan nenek. Oh! Sejak kapan kakek nenek kemari?

"Aku tidak melakukan apapun," jawabku acuh.

"DASAR ANAK TIDAK TAU DIUNTUNG!!" kakekku menatap nyalang padaku. Sudah kuduga juga, kakek akan seperti itu padaku. Kakek itu keras, temprament, dan semua harus berjalan sesuai kehendaknya. Wajar saja sih. Kan Mbak Maya adalah cucu pertamanya.

"Kenapa? Kakek mau apa?"

"Sudah SMA tapi kelakuannya lebih rendah dari anak TK! Itu mulut tidak pernah disekolahkan ya?!!"

Aku sungguh tidak berani untuk menjawabnya. Mendengar cacian dari kakek saja badanku serasa kelu. Bibirku tertutup rapat, namun hatiku tidak henti hentinya mencaci balik kakek.

"Pergi sana dari rumah. Minggatt!!! Biar tau gimana rasanya jauh dari orang tua. Tidak usah balik sekalian!!!" aku memberanikan mendongak. Memandang kakek menunjukkan raut emosi. Aku hanya bisa sabar menghadapi. Cuma karena itu, aku diusir? Hah? Tidak salah dengar?

Ku lihat Mbak Maya yang ditenangkan oleh ibu dan nenek. Membelainya penuh kasih sayang. Aku disini hanya bisa menahan rasa sesak. Seperti itu ya rasanya diabaikan dan tidak dibela. Mengepalkan tangan kuat, aku berteriak dalam batin.

'Tunggu saja kek, suatu saat nanti. Ketika Allah meridhoi aku untuk kuliah. Aku akan pergi jauh jauh dari sini. Bahkan semua tidak akan bisa menemukanku dimanapun. Ingat itu!!'

Lamunanku terbuyar sudah diganggu oleh nyamuk tak tau diri ini. Aku menghela nafas kasar, salah satu motivasiku untuk masuk kuliah salah satunya ya itu. Buat buktiin kakek kalau aku bisa, kalau aku tidak selemah Mbak Maya. Sebenarnya aku lolos tes yang diadakan disuatu perguruan tinggi. Tapi sayangnya di Bandung. Jauh sekali dari sini. Mungkin memang Allah mengabulkan permohonanku dulu. Aku menatap tas tas yang telah rapi didepanku. Duduk memandangi bintang, pikiranku melayang. Sudah tepatkah? Semalam, aku juga baru saja beradu mulut dengan bapak ibu gara gara kuliah.

"Kalau ibu sama bapak bilang tidak boleh ya tidak boleh!"

Aku meraih pergelangan tangan ibu, air mataku menetes dari tadi namun aku biarkan. "Aku mohon ibu, kali ini saja biarkan aku merantau dan mengejar pendidikanku."

"Haura, ikutilah perkataan orang tua. Jangan membangkang. Orang tua itu tau mana yang baik untuk anaknya," bapak melerai pertikaianku dengan ibu. Dari sudut kursi, kulihat Mbak Maya yang hanya diam menundukkan kepala.

"Yang baik untuk anaknya? Hahahaha terserah kalian saja lah."

Huft! Kini, tidak ada pilihan lain selain kabur dari rumah. Aku telah mempersiapkan semuanya. Tinggal menunggu semua tidur dan mimpiku akan terwujud. Hanya perlu membuka jendela, pergi ke terminal, dan mencari bus tujuan Bandung.

"Maafkan aku bu, pak," kulirik jam, waktu sudah menunjuk angka 12 malam. Aku melangkah penuh hati hati. Dan perlahan kabur dari rumah.

"Aku akan pulang ketika aku sudah mendapatkan gelar sarjanaku."

Semua kujalani, perjuangan dan pengorbanan di kota orang. Sendiri tanpa ada campur tangan siapapun. Aku memblokir nomer keluarga. Biar sajalah aku dicap sebagai anak durhaka. Kali ini aku tidak peduli. Hingga hidupku terombang ambing dibatas sabarku. Dulu aku yang dikata kuat oleh ibu tidak lagi bisa kuat. Aku menyerah karena kalimat yang terlontar dari seseorang lelaki asing didepanku.

"Menikahlah dengan saya sebagai gantinya."

Merindu Kalam Surga (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang